TUGAS JURNAL
NAMA:
MUHAMMAD RIZKY
JUDUL:
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM
TATA PEMERINTAHAN
MATA KULIAH:
HUKUM TATA PEMERINTAHAN
JURUSAN:
ILMU PEMERINTAHAN
BAB
I
A. Latar Belakang
Hukum Tata Pemerintahan sebagai suatu mata kuliah
bermula dari penamaan mata kuliah Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Usaha
Negara, walaupun pada hakikatnya di dalam ruang lingkup bahasan sesuai
kebutuhan kompetensi berbeda. Jika Hukum Administrasi Negara lebih difokuskan
pada tindakan hokum sepihak yang dilakukan oleh pemerintah karena hak istimewa
yang dimiliki sebagaimana hakikat arti yang diberikan oleh Utrech (1968),
demikian pula focus materi yang diajarkan oleh Hukum Tata Usaha Negara, maka
Hukum Tata Pemerintahan tidak saja pada tindakan sepihak yang dilakukan oleh
pemerintah yang sifatnya sangat otonom, sifatnya karena secara sepihak
dilakukan berdasarkan atas alas an wewenang istimewa yang dimiliki akan tetapi
mencakupi aturan hokum yang berkaitan dengan hubungan hokum yang terjadi antara
dua pihak yang berinteraksi dalam garis hubungan kekuasaan yang melekat pada
persoalan kepemerintahan secara konseptual. Hal ini didasarkan pada pemikiran
substantive bahwa pemerintah ada karena kekuasaan, tidak ada pemerintah jika
tidak ada kekuasaan. Dengan kekuasaan, Pemerintah bisa berbuat, bisa bertindak.
Kekuasaan yang dimiliki pemerintah harus diartikan sebagai sesuatu yang
istimewa (Utrech, 1968).
B. Permasalahan
1. Menjelaskan pengertian dari Hukum Tata
Pemerintahan
2. Mengurai apa yang menjadi ruang lingkup
kajian Hukum Tata Pemerintahan
C. Tinjauan Pustaka
Menurut (Utrech, 1968) pengertian Hukum Tata
Pemerintahan sendiri yaitu indicator hubungan hokum yang istimewa yang biasanya
diselenggarakan dengan tujuan setiap pejabat Negara untuk melakukan
kewajibannya. Utrech juga berpendapat bahwa, ciri-ciri sebuah Hokum Tata
Pemerintahan adalah melaksanakan tugas khusus, menguji sebuah hubungan hokum
yang istimewa dan adanya para pejabat.
D. Metedologi Penelitian
Sebagai suatu kajian ilmiah, Hukum Tata Pemerintahan
yang fokusnya adalah hokum, bukan sesuatu yang dipelajari sebagai suatu ilmu
pengetahuan yang berdiri sendiri, sesuatu yang memiliki objek formil dan
materiil, dan bukan pula dalam kerangka hokum sebagai hal yang rasional saja
yang secara deterministis, kausalitas yang harus diberlakukan secara normative,
sesuatu yang bersumber dari nilai atau sesuatu yang diinginkan oleh setiap
orang dan dapat diterima keberadaannya secara rasional, akan tetapi hokum
sebagai aturan yang mengatur hubungan hak dan kewajiban dari dua pihak atau
lebih serta hokum sebagai aturan yang mengatur yang dapat dilakukan oleh
pemegang otoritas tertentu
E. Pembahasan
1. Pengertian Hukum Tata
Pemerintahan
Hukum Tata Pemerintahan jika dilihat sebagai suatu
variabel, maka di dalamnya terkandung 3 (tiga) konsep yang memiliki arti secara
sendiri-sendiri, ketiga konsep itu adalah konsep hokum, konsep tata dan konsep
pemerintahan. Dua konsep yang pertama yaitu konsep hokum dan konsep tata dapat
diberikan arti ketika konsep ketiga yaitu konsep “Pemerintahan” telah beroleh
pengertian yang didasarkan pada rujukan yang terbakukan seperti kamus dan
ensiklopedia.
Berdasarkan itulah Ensiklopedi Nasional Indonesia, volume 12 (1997), memberikan
terminology “pemerintah” dalam dua sisi pengertian yaitu dalam pengertian
sempit dan dalam pengertian yang luas. Pengertian sempit, pemertintah diartikan
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif sedangkan dalam artian luas adalah seluruh
lembaga dan kegiatannya dalam suatu Negara, termasuk hal-hal yang berhubungan
dengan legislative dan yudikatif. Pengertian ini memberikan makna bahwa
pemegang kekuasaan tidak hanya difokuskan pada lembaga eksekutif akan tetapi
mereka para pelaku kelembagaan dalam berbagai kegiatannya dalam kehidupan suatu
Negara baik itu lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif. Semuanya itu
disebut sebagai pemegang kekuasaan dalam pemerintahan, yang secara konkrit
adalah mereka yang mengemban bidang tugas pokok dan yang utama yaitu
melaksanakan kehendak Negara sebagaimana diperintahkan oleh konstitusi Negara.
Kehendak setiap Negara selalu terurai dengan tegas dalam tujuan yang hendak
dicapai baik itu melalui tujuan yang bersifat internasional maupun yang
bersifat nasional menuju tercapainya sasaran Negara yaitu suatu bentuk
masyarakat yang diinginkan.
Mereka para pemegang kekuasaan pemerintahan
pada hakikatnya adalah manusia-manusia pemerintah, manusia yang memiliki
kekuasaan untuk melaksanakan kehendak Negara, manusia pemerintahan dalamsatu kesatuan
system pelaksanaan kekuasaan yang diemban, yang secara filosofis menjadi obyek
material dari Pemerintahan sebagai suatu ilmu maupun ilmu pemerintahan tidak
memiliki obyek formal tertentu sebagaimana ilmu politik, atau ilmu
administrasi, akan tetapi semua bidang kompetensi dapat dijadikan sebagai
instrument untuk menjelaskan obyek materialnya. Bagaimana manusia pemerintahan
melaksanakan kehendak Negara di bidang politik maka ilmu pemerintahan
menggunakan kompetensi ilmu politik untuk menjelaskannya. Dalam bidang ilmu
administrasi, manusia pemerintahan dapat menggunakan kompetensi ilmu
administrasi untuk melakukan pengaturan. Demikian pula dengan ilmu-ilmu
pengetahuan lainnya seperti ilmu ekonomi, sosiologi, dan semua bidang ilmu-ilmu
social.
Keberadaan manusia pemerintahan sesuai
ruang kegiatannya secara kuantitif tersebar dalam jumlah yang banyak pada semua
lembaga pemerintahan (eksekutif, legislative dan yudikatif) dan secara
kualitatif tersebar dalam tingkat-tingkat hierarkhis dalam satu kesatuan
organisasi Negara serta dalam ragam posisi dan status. Mereka semuanya disebut
sebagai aparatur Negara dan aparatur pemerintah, alat yang mewakili dan
melaksanakan kepentingan Negara dan kepentingan pemerintah. Mereka secara
keseluruhan para aparatur yang terorganisir dalam suatu bentuk organisasi yang
disebut birokrasi dalam beragam status, dapat dalam status sebagai birokrasi
professional, birokrasi teknis, dan birokrasi politik. Jika organisasi aparatur
dilihat dalam kesatuan system kerja yang diemban, maka terkonsepsilah aparatur
Negara dan pemerintah dalam system kelembagaan Negara dan kelembagaan pemerintahan.
Dengan demikian, manusia pemerintahan
disebut pula sebagai para birokrat, para pelaku kelembagaan Negara, pelaku
kelembagaan pemerintah baik keberadaannya secara horizontal tersebar dalam
lingkungan-lingkungan kerja yang disebut Departemen, Badan Pemerintahan, Dinas,
Jawatan dan apapun namanya sepanjang dalam kegiatannya berada dalam satu
kesatuan lingkungan kerja, maupun keberadaannya secara vertical mulai dari
tingkat pemerintah pusat hingga daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota, dan Desa
sekalipun).
Dalam terminology lainnya, aparatur Negara
dan pemerintah dikonsepsikan sebagai para administrasi Negara, dan oleh sebab
itu konsepsi tentang administrasi Negara diterjemahkan sebagai public administration. Disinilah konsep
pemerintah diartikan sama dengan konseppublic
administration di mana public belum berkonotasi sebagai masyarakat tetapi
masih dalam konteks Negara. Dalam posisi lain, khususnya bagi para aparatur
pemerintah adalah sebagai warga Negara yang diangkat berdasarkan aturan
perundangan yang berlaku menjadi seorang pegawai negeri sipil, pegawai yang dibina, dikembangkan oleh Negara dengan
pembiayaan oleh Negara/daerah. Mereka para pegawai negeri sipil berada dalam
jumlah yang banyak serta dalam klasifikasi kualitas pendidikan yang beragam
sesuai tingkat-tingkat pendidikan yang diberlakukan. Oleh karena itu pula,
pemerintah selalu terkonotasi sebagai para pegawai negeri, para pegawai Negara.
Konsep “pemerintah” didefenisikan dalam
konteks pemerintahan, yang oleh Surianingrat (1988) diindikatori oleh adanya
hubungan yang berlangsung dalam kerangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.
Hubungan yang terjadi adalah hubungan yang berlangsung secara fungsional antara
pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dengan rakyat sebagai pihak yang dikuasai.
Kepenguasaan dalam kerangka hubungan tidak diarahkan pada konsep hogemeni
secara otoriter akan tetapi dapat pula berlangsung dalam kerangka demokratisasi.
Kepenguasaan akan terlihat pada penggunaan intisari “Pemerintah” yaitu
“perintah” yang tidak dipersamakan dengan
order atau direction akan tetapi
bermakna fungsional dalam upaya pengayoman, pelayanan, dan pembangunan.
Sepanjang ketiga fungsi itu diwujudkan oleh pemerintah maka hubungan kekuasaan
akan terus berlangsung. Dalam fungsi pengayoman akan berlangsung hubungan
kekuasaan dalam pengaturan, fungsi pelayanan akan berlangsung hubungan
kekuasaan dalam pemenuhan kebutuhan, dan fungsi pembangunan akan berlangsung
hubungan kekuasaan pemberdayaan. Dari konsepsi “Pemerintah” dalam pemerintahan
inilah, maka terkandunglah makna atas “Pemerintah dan Rakyat” dalam satu
kesatuan fungsi pelaksanaan kekuasaan tugas-tugas pemerintahan. Dari sinilah
dapat pula diartikan bahwa obyek material dari ilmu pemerintahan adalah manusia
pemerintahan, manusia yang berada dalam kerjasama pemerintahan, kerjasama
antara pemerintah dengan rakyat sebagai pihak yang diperintah. Tanpa suatu
kerjasama maka tujuan yang diinginkan oleh Negara tidak akan tercapai (Ali,
2003).
Selanjutnya tentang konsep yang berkenaan
dengan “tata” adalah dimaksudkan tidak saja dalam artian yang statis yang
menunjuk kepada adanya susunan dari sesuatu hal akan tetapi dalam artian yang
dinamis, tata dapat dimaksudkan sebagai aturan yang berasal dari kata dasar
“atur” sebagai substansi dari apa yang disebut dengan “administrasi” (Ali,
2004) yang berarti pengaturan atas kegiatan yang berlangsung. Dalam konteks
inilah “tata pemerintahan” adalah dimaksudkan dengan pengaturan pemerintahan
atau yang divariabelkan dengan administrasi pemerintahan Negara yang pada
akhirnya dapat disingkat dengan dalam variabel administrasi Negara.
Sedangkan konsep “hokum” dalam pemikiran
sederhana dimaksudkan sebagai aturan, akan tetapi konsep aturan terarah pada
pengertian hokum yang tertulis, sedangkan secara factual ditemukan aturan yang
tidak tertulis yang disebut sebagai hokum yang tidak tertulis. Kenyataan inilah
menunjukan bahwa konsep hokum memiliki pengertian yang luas dibandingkan dengan
pengertian aturan. Aturan dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis namun dalam
isi keduanya mengandung aturan hokum, aturan yang harus diberlakukan baik itu
berisi perintah untuk melakukan sesuatu atau larangan untuk berbuat sesuatu,
ataukah pembolehan yang dapat dilakukan dan ataukah hal yang berkaitan dengan
hal-hal yang dikecualikan yang kesemuanya itu menjadi pilar dari hokum ketika
hokum dilihat dalam konstruk yang konkret. Hukum diterminologikan dengan term “ius” sedangkan aturan dalam konsep
tertulis (undang-undang) dan tidak tertulis dengan termasuk konvensi dan adat
istiadat dengan term “lex”.
Secara defenitif apa yang disebut dengan
hokum, beragam pengertian sesuai dengan pendekatan yang digunakan. Ada
pendekatan dari sisi factual dan realita, ada pendekatan dari sisi tujuan yang
hendak dicapai, ada pendekatan dari sisi substansi dan berbagai pendekatan yang
digunakan oleh para ahli. Dari sekian banyak pendekatan, focus materi ajaran
hokum tata pemerintahan hanya beberapa pendekatan yang dapat disajikan sesuai
kebutuhan kompetensi bidang yang diajarkan, yaitu bidang kompetensi ilmu
pemerintahan, program studi yang dikembangkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
Pendekatan factual dan realistis adalah
pendekatan yang melihat hokum sebagai fakta empiric di mana hokum diartikan
sebagai polisi, penjara dan berbagai person dan lembaga yang selalu bersentuhan
dengan kenyataan atas keberlakuan sesuatu aturan hokum. Pengertian itu dapat
kita buktikan ketika kita mempertanyakan kepada seseorang dengan statusnya
sebagai seorang pengemudi becak, apakah yang dimaksudkan dengan “hokum”. Dapat
dipastikan bahwa jawaban yang kita peroleh adalah bahwa hokum itu adalah
polisi. Jawaban demikian itu tentunya dapat dibenarkan karena seseorang
pengemudi becak yang secara rata-rata memiliki pendidikan yang rendah malah
bisa mungkin tidak pernah mengalami pendidikan. Kemampuan yang dimiliki
hanyalah sebatas apa yang dilihat dan apa yang dialaminya. Seorang pengemudi
becak, ketika ia melakukan pelanggaran berlalu lintas dan berkendaraan, yang ia
hadapi bukanlah hokum atau undang-undang akan tetapi mereka yang mempertahankan
hokum agar hokum ditaati. Polisi adalah penjaga ketertiban dalam masyarakat dan
ketika seseorang anggota masyarakat melakukan pelanggaran seperti salah jalan
atau tidak memiliki surat izin mengemudi kendaraan bermotor, maka yang
dihadapinya adalah polisi, polisi yang mempertahankan ketertiban, polisi yang
mempertahankan ditaatinya aturan hokum oleh setiap anggota masyarakat dalam
berbagai status dan perannya. Walhasil dengan pemikiran spontanitas, jawaban
yang sangat factual empiric itu akan terlontar sebagai jawaban yang benar.
Jawaban yang lahir dari pemikiran demikian itu, dikonsepsikan oleh Van Apeldorn
(1962) sebagai jawaban dari mereka yang digolongkan sebagai “the man in the street” (manusia
jalanan).
Pendekatan factual empiric lainnya, ketika
jawaban dari mereka atas pertanyaan, “apa itu hokum” yaitu deretan pasal yang
tak berkesudahan. Kebenaran atas jawaban ini karena didasarkan pada fakta yang
secara empiric bahwa setiap kali orang berhadap dengan peristiwa hokum, yang
akan terlihat olehnya adalah pasl-pasal yang memuat aturan yang dalam isinya
setidaknya memuat keempat pilar hokum yaitu perintah, larangan, perijinan dan
dispensasi. Pendapat dengan pendekatan demikian itu adalah sama dengan
pendekatan yang dilakukan oleh mereka yang digolongkan “the man in the street” tetapi tidak dapat dikatakan sebagai
pendapat golongan tersebut, akan tetapi pendapat dari mereka yang digolongkan de ontwikelde leek (Van Apeldorn, 1962)
atau mereka kaum terpelajar. Mereka para terpelajar akan memandang hokum
sebagai hal yang membosankan, membosankan karena setiap kali selesai membaca
pasal-pasal dari suatu aturan akan diperhadapkan dengan pasal-pasal lain ketika
membuka dan membaca aturan lainnya, demikian seterusnya.
Pendekatan lain yang dapat dikemukakan
untuk keperluan kompetensi bidang ilmu pemerintahan adalah pendekatan dari sisi
tujuan hokum. Jika tujuan hokum itu adalah untuk menciptakan ketertiban dalam
kehidupan bermasyarakat maka menurut penulis hokum dapat didefenisikan sebagai
aturan-aturan tingkah laku guna terwujudnya ketertiban dalam kehidupan
bermasyarakat. Ini berarti bahwa hokum diberlakukan untuk mencapai ketertiban, dan
tercapainya ketertiban pada gilirannya akan mewujudkan rasa aman, rasa damai,
tanpa ada konflik, tanpa ada sengketa, semua berjalan dalam lalu lintas yang
teratur sesuai dengan jalur-jalur aturan yang diberlakukan. Defenisi yang
dirumuskan dalam pendekatan tujuan pada gilirannya dapat melahirkan rumusan
hokum dari sisi peralatan di mana hokum dapat pula didefenisikan sebagai alat
untuk mempermudah lalu lintas interaksi manusia dalam berbagai bidang
kehidupan.
Namun, jika dilakukan pengkajian yang lebih
mendalam hingga akan sampai pada persoalan substansi, maka hokum dapat
didefenisikan sebagai titik keseimbangan dari apa yang dikatakan baik dan apa
yang dikatakan tidak baik (Faried Ali, 2004). Ketika keseimbangan itu tidak
tercipta dan pemberatan berada pada timbangan sebelah kiri ataupun kanan maka
ranah kesewenangan yang akan muncul dari akibat sesuatu kekuasaan yang
mendominasi. Bisa mungkin otoritarian, bisa mungkin tirani, hingga kemungkinan
kewenangan demokrasi tanpa batas yang melahirkan kesewenangan oligarsi
kelompok, oligarsi sipil sebagaimana pendapat Jeffri Winters (2011) dalam
kuliah umum di depan masyarakat ilmiah pada Universitas Hasanuddin. Namun,
ketika keseimbangan itu tercipta maka ujung penyelesaiannya pada tuntutan
adanya keberlakuan keadilan.Itulah substansi dari hokum, dan keadilan pun dapat
dirumuskan sebagai titik keseimbangan dari apa yang dikatakan baik dan apa yang
dikatakan buruk. Dengan demikian pun dapat dikatakan bahwa diwujudkan keadilan
adalah menentang kesewenangan, dan hal itu bukanlah hal yang mudah dilakukan.
Akan begitu banyak factor yang mempengaruhi ke arah mana jarum keadilan
bergerak, dapat saja factor pemerintahan akan mengintervensi, bisa mungkin
factor kekuasaan dalam artian kepentingan kelompok akan mewarnainya, dapat pula
factor interaksi dalam pergaulan internasional akan turut serta menjadi bahan
pertimbangan ketika keadilan itu diwujudkan, factor informasi yang tidak valid
dan reliable mendominasi komunikasi menjelang diterapkannya kehendak keadilan,
factor manusia dalam kelompok pun akan ikut turut serta dalam mewujudkan warna
keadilan yang akan diberlakukan, factor pengaturan secara administrative akan menjadi
penghambat terwujudnya keadilan, dan hingga factor manusia dengan budaya yang
menentang atau mendukung akan melancarkan diberlakukannya keadilan itu.
Walhasil, persoalan hokum bukan saja terbatas pada persoalan aturan yang
ditaati dan dilanggar akan tetapi lebih dalam dari itu yaitu persoalan keadilan
adalah persoalan yang sulit diwujudkan secara obyektif karena ia melekat pada
subyektifitas para penegak hokum, para pelaksana hokum dan para pembenah hokum
atau mereka yang mempertahankan keadilan.
Hukum
sebagai focus dari mata kuliah hokum tata pemerintahan bukan sesuatu yang
dipelajari sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, sesuatu yang memiliki
obyek formal dan materiil, dan bukan pula dalam kerangka hokum sebagai hal yang
rasional saja yang secara deterministis, kausalitas harus diberlakukan secara
normative, sesuatu yang bersumber dari nilai atau sesuatu yang diinginkan oleh
setiap orang dan dapat diterima kebenarannya secara rasional. Akan tetapi,
hokum sebagai aturan yang mengatur hubungan hak dan kewajiban dari dua pihak
atau lebih serta hokum sebagai aturan yang mengatur yang dapat dilakukan oleh
pemegang otoritas tertentu.
Dalam konteks atau lokus hokum dengan
pengertian sebagai hubungan hak dan kewajiban dari dua pihak atau lebih hokum
sebagai aturan yang diberlakukan oleh otoritas tertentu, maka jika diletakkan
pada konsep tata pemerintahan atau pengaturan pemerintahan, ia akan berkonotasi
sebagai hubungan hak dan kewajiban dari mereka manusia yang memiliki kekuasaan
serta mereka yang melakukan kerjasama yang berlangsung antara pemerintah sebagai
pemegang kekuasaan, pemerintah sebagai pengatur dengan rakyat sebagai pihak
yang dikuasai dan sebagai pihak yang diatur, juga berarti sebagai aturan yang
diberlakukan secara sepihak oleh pemerintah karena kekuasaan yang dimiliki,
sepihak karena tidak memerlukan kesepakatan dari pihak yang dikuasai dan pihak
yang diatur.
Hubungan hak dan kewajiban yang berlangsung
dalam penyelenggaraan pemerintah adalah merupakan hubungan hokum yang berlangsung
antara pemerintah dan pihak yang diperintah (rakyat, warga Negara, penduduk,
public), hubungan hokum mana memiliki akibat-akibat hukum berupa pembebanan hak
dan kewajiban dari mereka yang melakukan hubungan. Sedangkan aturan yang
diberlakukan oleh otoritas tertentu secara sepihak adalah juga termasuk pada
materi hokum tata pemerintahan.
Oleh karena itu, dapat dirumuskan bahwa
hokum tata pemerintahan adalah hokum yang mengatur tentang tata penyelenggaraan
pemerintahan baik dalam konteks yang luas maupun dalam konteks yang sempit.
Dalam konteks yang luas, maka hokum tata
pemerintahan adalah hokum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan pihak yang diperintah dalam rangka terselenggaranya
kekuasaan pemerintahan maupun terselenggaranya kerjasama di dalam pencapaian
tujuan Negara sebagaimana diisyaratkan oleh konstitusi Negara. Di dalam konteks
yang luas, maka hokum tata pemerintahan hanya akan dibatasi pada konsep
pemerintahan dalam artian eksekutif sebab jika dalam konsep legislative,
eksekutif dan yudikatif, hal itu akan memasuki bidang kompetensi hokum tata
Negara yaitu hokum yang membicarakan hubungan kewenangan organ Negara, seperti
hubungan eksekutif dengan legislative.
Sedangkan dalam konteks yang sempit, hokum
tata pemerintahan dapat didefenisikan sebagai aturan hokum yang diberlakukan
oleh pemerintah karena otoritas yang dimilikinya secara sepihak dan di dalam
hal-hal yang tertentu yang sifatnya konkret, seperti ketetapan yang dibuat dan
diberlakukan oleh pemerintah.
2. Ruang Lingkup Hukum Tata
Pemerintahan
Walaupun telah tersirat pada pengertian atas hokum
tata pemerintahan sebagaimana diuraikan di atas, namun untuk mempertegas apa
yang menjadi ruang lingkup kajian Hukum Tata Pemerintahan, sangat perlu
menjelaskan kembali makna defenisi yang dikemukakan di atas.
Di defenisikan bahwa hokum tata
pemerintahan dalam artian yang luas adalah hokum yang mengatur hubungan hak dan
kewajiban pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dengan pihak yang diperintah
baik dalam rangka terselenggaranya kekuasaan pemerintahan maupun
terselenggaranya kerjasama di dalam pencapaian tujuan Negara sebagaimana
diisyaratkan oleh konstitusi Negara.
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan pada hakikatnya menjadi perwujudan dari fungsi
yang diemban, fungsi mana menurut Ryas Rasyid (2002) meliputi fungsi pelayanan,
pengayoman/pengaturan, dan fungsi pemberdayaan (pembangunan). Ketika hal itu
difokuskan pada konteks pemerintahan dalam artian yang luas. Namun dalam
konteks yang luas, fungsi pemerintah adalah melakukan pengembangan bidang tugas
dalam pencapaian tujuan Negara sebagaimana diisyaratkan oleh konstitusi setiap
Negara.
Jika
memperhatikan perwujudan ketiga fungsi dalampenyelenggaraan pemerintahan, maka
pada ketiga fungsi terkandung adanya dua pihak yang berinteraksi yaitu pihak
yang memberi pelayanan atau pihak yang menyediakan berbagai kebutuhan dan
keperluan dari pihak yang dilayani, pihak yang mengayomi/pengatur, pihak yang
diberdayakan dan pihak yang menerima layanan yang diberikan, menerima dan
memanfaatkan berbagai kebutuhan yang disediakan oleh pemberi layanan, pihak
yang diayomi dan pihak yang diberdayakan. Dalam konteks interaksi lapangan
fungsi pelayanan itulah hokum tata pemerintahan menjadi lokus di mana hubungan
interaksi berlangsung hubungan pemerintah sebagai pihak yang memberi layanan
dan pihak yang diperintah (rakyat, warga Negara, penduduk dan masyarakat)
sebagai pihak yang menerima layanan. Pemberian layanan adalah menjadi suatu
kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan atas dasar itulah lahir hak
pemerintah untuk melakukan pembebanan sejumlah pembayaran atas jasa layanan
yang diberikan serta bebagai pengaturan pelayanan dan menuangkannya ke dalam
aturan-aturan yang dibentuk guna menjadi patokan berpikir dan bertindak bagi
semua pihak, baik pihak pemerintah maupun pihak yang diperintah.
Demikian pula dalam hal pengayoman atau
perlindungan, pemerintah berkewajiban untuk melakukan perlindungan terhadap
rakyat di dalam berbagai peran dan statusnya (warga Negara, penduduk, anggota
masyarakat, ataupun kelompok kepentingan) baik perlindungan yang dilakukan
perangkat pemerintah di bidang ketertiban dan keamanan (dalam maupun dari luar)
maupun melalui penyediaan aturan-aturan hokum yang dapat diberlakukan
(undang-undang, peraturan pemerintah dan berbagai aturan linnya secara
hierarkis), dan dari oleh karena itu, pemerintah memiliki hak untuk memberikan
berbagai pembebanan atas konsekuensi yang timbul dari perlindungan yang
dilakukan oleh perangkat pemerintah seperti melakukan pemaksaan atas
terwujudnya kondisi yang tertib dan aman serta hak untuk memperlakukan berbagai
aturan agar pihak rakyat akan selalu berada dalam kehidupan yang tertib dan
damai melalui hak penegakan aturan yang secara khusus harus dilakukan oleh para
penegak dan atau lembaga penegak hokum dan oleh pemerintah pada umumnya. Dalam
kaitannya dengan rakyat, maka terhadap hak dan kewajiban pemerintah harus
berada dalam hubungan kekuasaan dengan rakyat melalui hak dan kewajiban yang
dimiliki, hak dan kewajiban mana harus mewujud dalam perbuatan hokum yang
berlangsung, perbuatan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka yang melakukan
hubungan hokum. Rakyat sebagai pihak yang diperintah dalam konteks hubungan
kekuasaan, maka kewajiban yang harus dipenuhi adalah melaksanakan segala apa
yang harus dilakukan oleh pemerintah berkaitan dengan pengayoman atau
perlindungan yang diberikan yang pada gilirannya diikuti dengan pemikiran hak
rakyat atas rasa aman dan rasa tertib dari ancaman baik yang datangnya dari
akibat interaksi antara sesama rakyat dalam berbagai peran dan statusnya atau
antara rakyat dengan pemerintah maupun ancaman dari luar termasuk di dalamnya
hak perlindungan yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat yang bekerja di
luar negeri dalam batas-batas keberlakuan system hokum yang diberlakukan.
Dalam hal pemberdayaan atau upaya
pengembangan potensi yang dimiliki oleh rakyat dalam berbagai peran dan
statusnya, pemerintah berkewajiban untuk melakukan perubahan atas keadaan yang
dimiliki rakyat, perubahan mana berlangsung dalam berbagai dimensi seperti
dimensi social, ekonomi, politik, budaya dan oleh karena itu pemerintah memiliki
hak untuk melakukan perencanaan pembangunan yang berdaya guna serta berhasil
guna dengan berbagai konsekuensi pelaksanaan hak yang dimiliki seperti adanya
tantangan, kesulitan, yang diikuti dengan kewajiban untuk melakukan pembangunan
dengan berbagai konsekuensi logisnya. Dalam hubungannya dengan rakyat, maka
kepada rakyat dibebani kewajiban untuk berperan ikut serta dalam pembangunan
yang dilakukan yang diikuti oleh hak untuk menikmati hasil pembangunan yang
dilakukan.
Ketiga macam hubungan hak dan kewajiban
yang terimplementasikan dalam pelaksanaan fungsi pemerintah, memberikan
petunjuk atas ruang lingkup hokum tata pemerintahan berada dalam ruang yang
heteronom, ruang yang menggambarkan adanya dua pihak yang melakukan hubungan
hokum yang berlangsung dalam ikatan hubungan kekuasaan dan hubungan dalam
pengaturan.
Demikian pula dalam interaksi yang lebih
luas yaitu interaksi yang berlangsung dalam hubungan pemerintahan dalam artian
yang luas yaitu hubungan antara sesama organ pemerintahan Negara dan dengan
warga Negara, hubungan hokum pun akan berlangsung dalam konteks hokum tata
pemerintahan.
Di lain sisi, hubungan pemerintah dengan
rakyat di dalam berbagai peran dan statusnya baik dalam konteks kekuasaan
maupun dalam konteks pengaturan kerjasama, akan selalu berada dalam hubungan
hokum, akan selalu dipandang sebagai perbuatan hokum akan tetapi dapat pula
terjadi dalam perbuatan biasa atau perbuatan yang tidak berakibat hukum seperti
perbuatan perencanaan, pelaksanaan termasuk pemeliharaan hubungan dan
pengawasan atas berbagai kegiatan pemerintahan. Hubungan hukum yang berlangsung
antara pemerintah dengan rakyat di dalam berbagai peran dan statusnya secara
fungsional dan hubungan hukum antara sesama organ pemerintahan Negara dan
terhadap warga Negara adalah menjadi meteri dari hukum tata pemerintahan
heteronom.
Namu, yang lebih spesifik pada hukum tata
pemerintahan ketika hubungan pemerintah dengan rakyat berada dalam hubungan
hukum yang terjadi secara sepihak tanpa memerlukan kesepakatan dari rakyat.
Spesifikasi yang dimiliki oleh hukum tata
pemerintahan, ketika hubungan yang terjadi adalah secara sepihak tetapi dalam
kerangka pembebanan dan pembolehan atas hak dan kewajiban oleh pemerintah
kepada rakyat melalui perintah, larangan, perizinan dan dispensasi diberlakukan
secara positif. Pembebanan dan pembolehan secara sepihak itu dilakukan oleh
pemerintah karena kekuasaan yang dimiliki dan menempatkan pemerintah sebagai
penguasa yang menghegomoni rakyat.
Hegomoni yang terjadi dalam konteks
hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan rakyat menempatkan rakyat sebagai
pihak yang dikuasai sedangkan pemerintah adalah sebagai penguasa. Dalam
kerangka itulah, dimungkinkan terjadinya perlakuan wewenang khusus atau
wewenang yang sifatnya istimewa yang dimiliki oleh pemerintah dan memungkinkan
pemerintah melakukan perbuatan atau tinakan hukum yang berlangsung secara
sepihak, walaupun pada akibat hukum yang terjadi sebagai akibat dari tindakan
istimewa tercipta suatu hubungan hak dan kewajiban antara pemerintah sebagai
penguasa dengan/terhadap rakyat sebagai pihak yang dikuasai.
Sebagai penguasa, pemerintah, menurut
Donner (Hadjon dkk, 1994), memiliki empat fungsi yang terdiri dari (1)
Pemeliharaan ketertiban, (2) Pengelola keuangan, (3) Tuan tanah, (4) Pengusaha.
Jika dilakukan pemahaman secara mendalam
atas uraian Donner (Hadjon dkk, 1994) atas keempat fungsi penguasa dan untuk
kemudian dilakukan analisa guna klasifikasi pemahaman maka dalam hal fungsi pemeliharaan ketertiban, yang digolongkan pada perbuatan
berakibat hukum secara sepihak adalah perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah
dalam hal-hal yang dapat diklasifikasi atas: (1) Penetapan peraturan yang
mengatur hubungan hukum antara sesama
rakyat
dalam berbagai peran dan statusnya, yang pelaksanaan akibat hukum diserahkan
kepada mereka yang melakukan hubungan berdasarkan peraturan yang diberlakukan,
sebagaimana peraturan yang berkenaan dengan hak-hak keperdataan (hukum
perdata), (2) Penetapan peraturan, yang penegakkan atau penegakkan
akibat-akibat hukumnya berada di tangan pemerintah sebagaimana perlakuan
peraturan tentang lalu lintas, peraturan tentang pemeliharaan ketertiban, (3)
Penetapan peraturan berkenaan dengan pembebanan kewajiban seperti kewajiban
kepemilikan kartu tanda penduduk elektronik, kewajiban membayar pajak,
kewajiban memiliki perizinan atas kegiatan-kegiatan tertentu yang diatur oleh
pemerintah serta pembolehan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat
melalui peraturan umum yang diberlakukan.
Posisi penguasa dalam fungsi pemeliharaan
ketertiban pada awalnya sangat memungkinkan terjadinya perbuatan atau tindakan
hukum secara sepihak karena wewenang istimewa yang dimiliki, namun ketika
perbuatan/tindakan hukum berakibat hukum diterima/ditanggung oleh rakyat
sebagai pihak yang dikuasai, maka untuk kemudian akan terjalin hubungan hukum
antara pemerintah sebagai penguasa dengan rakyat sebagai pihak yang dikuasai.
Sedangkan perbuatan yang tidak berakibat hukum dan dilakukan baik secara
sepihak maupun secara bersama-sama adalah seperti perencanaan kegiatan,
pelaksanaan kegiatan, pemeliharaan kegiatan dan pengawasan kegiatan.
Namun, walaupun dikatakan bahwa peraturan
pemerintah yang dilakukan secara sepihak dalam uraian ini tidaklah dimaksudkan
peraturan pemerintah dalam bentuk undang-undang atau yang setingkatnya
mengingat hal itu berlangsung dalam proses kesepakatan eksekutif dan
legislative berdasarkan konstitusi, apalagi jika hal itu dilihat dari konteks
demokrasi.
Selanjutnya, dalam hal fungsi pengelolaan
keuangan maka pemerintah sebagai penguasa memiliki hak untuk melakukan pungutan
pajak, pungutan atas jasa fasilitas yang disediakan, pungutan untuk perolehan
anggaran pendapatan belanja Negara dan berbagai kepenguasaan lainnya.
Pemerintah sebagai penguasa berkewajiban memberikan bantuan, penyediaan
subsidi, penyediaan kredit tanpa diminta dan apalagi jika diminta oleh rakyat.
Tanpa diminta memberikan indikasi adanya tindakan hukum yang terjadi secara
sepihak akan tetapi lahir dari tanggung jawab pemerintah sebagai penguasa.
Dengan diminta, memberikan indiksi bahwa kepenguasaan yang dimiliki oleh
pemerintah akan selalu berada dalam hubungan kekuasaan dengan pihak yang
diperintah (rakyat dalam berbagai peran dan statusnya), hubungan mana terkandung
hubungan hak dan kewajiban kepenguasaan.
Sedangkan dalam hal posisi pemerintah
sebagai penguasa tanah atau disebut sebagai tuan tanah, pada hakikatnya
memberikan makna arti bahwa pemerintah sebagai penguasa beroleh kekuasaan dari
Negara dengan pengertian bahwa pemerintah bertindak, berbuat dan berpikir atas
kehendak Negara. Ketika Negara mendasarkan supremasi pada konstitusi, maka
keinginan Negara tercermin pada keinginan konstitusi.
Sebagaimana di Indonesia, keinginan Negara
adalah tercrmin pada tujuan Negara dan hak serta kewajiban dasar dari Negara
dan warga Negara terurai dengan tegas dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar
1945.
Salah satu hak dan kewajiban dasar Negara
adalah penegasan bahwa “Bumi serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
adalah dikuasai oleh Negara (pasal 33)”. Pasal ini memberikan petunjuk bahwa
betapa luasnya kekuasaan pemerintah sehingga menjadikan ia sebagai penguasa
tanah. Bumi adalah terdiri dari tanah, air dan ruang angkasa di atas tanah dan
air. Semuanya itu dikuasai oleh Negara dan diserahkan kepada pemerintah sebagai
penguasa untuk menguasainya. Untuk selanjutnya dalam pasal itu pun pada ayatnya
diikuti dengan penegasan bahwa penggunaannya sebanyak-banyaknya untuk
kepentingan rakyat.
Penguasaan dan penggunaan atas tanah
memerlukan pengaturan lebih lanjut, dan oleh karena itu pemerintah sebagai
penguasa bumi dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dapat
diterjemahkan sebagai penguasa tanah, dan inilah merupakan hak mutlak dari
pemerintah, hak kepenguasaan yang dimiliki oleh pemerintah. Dengan demikian,
pemerintah dengan fungsinya demikian itu adalah yang paling terkaya dalam
kehidupan bernegara sedangkan rakyat adalah paling termiskin, dan oleh karena
itu Negara memiliki hak untuk merampas segala sesuatu yang berkaitan dengan
bumi yang telah dikelola oleh rakyat dalam berbagai peran dan statusnya
berdasarkan aturan perundangan yang berlaku.Ketika hal itu dipertimbangkan oleh
pemerintah digunakan untuk kepentingan umum, pemerintah dapat melakukan
pembatasan atas kepemilikan rakyat berdasarkan aturan perundangan tentang
tanah, dapat melakukan pembebanan kepada rakyat berupa kewajiban membayar pajak
atas kepemilikan tanah yang diperolehnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Perampasan dan pembatasan serta pembebanan
pemerintah terhadap rakyat berkaitan dengan tanah, adalah merupakan wewenang
yang sifatnya istimewa dan menjadikan pemerintah dapat melakukan perbuatan
hukum yang berlaku secara sepihak. Walaupun setelah kemudian tindakan sepihak
dilakukan pada gilirannya akan mewujudkan hubungan hukum pemerintah sebagai
penguasa dengan kapasitas sebagai tuan tanah dengan rakyat sebagai pihak yang
dikuasai seperti hubungan pembayaran pajak di mana pemerintah berhak untuk
melakukan penagihan jika mungkin dapat memaksakan atas nama Negara sedangkan
rakyat berkewajiban untuk membayarnya walaupun tanah itu telah menjadi
miliknya.
Sebagai pengusaha yang merupakan fungsi
keempat dari penguasa, menurut Donner (Hadjon dkk, 1994), hal ini dapat saja diartikan
sebagai pelaksana kegiatan yang bersifat bisnis dan dapat pula kegiatan yang
berorientasi pada usaha pemenuhan kepentingan Negara atau kepentingan umum.
Jika hal itu diarahkan pada usaha bisnis maka sasarannya adalah pencarian
keuntungan yang sebesar-besarnya sebagaimana pemerintah melakukan pengelolaan
atas sumber kekayaan alam yang dimiliki Negara seperti usaha pertamina dan
usaha-usaha lain yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara di mana hasil dan
keuntungannya adalah untuk sumber pendapatan belanja Negara. Jika usaha yang
dilakukan tidak untuk bisnis, maka hal itu ditujukan untuk memberikan jaminan
dan penyediaan atas kebutuhan dan kepentingan umum dan kepentingan Negara
sebagaimana usaha pekerjaan umum berupa pembuatan dan penyediaan serta pemeliharaan
jalan/transportasi dan semacamnya, penjagaan pertahanan keamanan melalui
penyediaan Angkatan Bersenjata yang tangguh, penyediaan sarana dan prasarana
jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti penyediaan jasa pos, telepon
walaupun hal ini kepada pihak swasta dimungkinkan untuk ikut serta
berpartisipasi dalam pengusahaannya. Hal-hal yang berkaitan dengan usaha inilah
menjadikan pemerintah sebagai penguasa atas berbagai jasa dan kebutuhan rakyat
dalam berbagai status dan perannya. Penyediaan segala sesuatu yang diusahakan
oleh pemerintahan dalam kapasitas sebagai pengusaha dilakukan secara sepihak
tanpa perlu melakukan persetujuan dengan rakyat.
Namun setelah tindakan sepihak itu
dilakukan maka hubungan hukum akan terjalin dalam bentuk pemanfaatan fasilitas,
pemeliharaan dan penaatan atas berbagai ketentuan atas penggunaan usaha yang
dilakukan pemerintah oleh rakyat dalam hubungan kekuasaan yang berlangsung.
Demikian apa yang menjadi ruang lingkup
materi Hukum Tata Pemerintahan yang dapat disimpulkan dalam dua ruang lingkup,
yaitu ruang lingkup Hukum Tata Pemerintahan yang obyeknya bersifat heteronom
dan Hukum Tata Pemerintahan yang obyeknya bersifat otonom
F. Kesimpulan dan Saran
Dalam konteks yang luas, maka hokum tata pemerintahan adalah hokum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pihak yang diperintah dalam rangka terselenggaranya kekuasaan pemerintahan maupun terselenggaranya kerjasama di dalam pencapaian tujuan Negara sebagaimana diisyaratkan oleh konstitusi Negara. Di dalam konteks yang luas, maka hokum tata pemerintahan hanya akan dibatasi pada konsep pemerintahan dalam artian eksekutif sebab jika dalam konsep legislative, eksekutif dan yudikatif, hal itu akan memasuki bidang kompetensi hokum tata Negara yaitu hokum yang membicarakan hubungan kewenangan organ Negara, seperti hubungan eksekutif dengan legislative.
Sedangkan dalam konteks yang sempit, hokum
tata pemerintahan dapat didefenisikan sebagai aturan hokum yang diberlakukan
oleh pemerintah karena otoritas yang dimilikinya secara sepihak dan di dalam
hal-hal yang tertentu yang sifatnya konkret, seperti ketetapan yang dibuat dan
diberlakukan oleh pemerintah.
Dan juga apa yang menjadi ruang lingkup
materi Hukum Tata Pemerintahan yang dapat disimpulkan dalam dua ruang lingkup,
yaitu ruang lingkup Hukum Tata Pemerintahan yang obyeknya bersifat heteronom
dan Hukum Tata Pemerintahan yang obyeknya bersifat otonom
Sesuai dengan materi yang disampaikan,
saran saya sebagai penulis, agar kita dapat menerapkan Hukum Tata Pemerintahan
dalam kehidupan kita, karena hubungan hukum dalam Hukum Tata pemerintahan
terjalin antara Pemerintah dan juga kita sebagai Rakyat, yang membutuhkan satu
sama lain
Daftar
Pustaka
A.D
Belinfante dan H. Boerhanuddin Soetan Batoeah, Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara,
Binacipta, IKAPI,1983.
Bayu
Surianingrat, Mengenal Ilmu Pemerintahan,
Aksara Baru, Jakarta, 1987.
Bachsan
Mustafa, Pokok Hukum Administrasi Negara
Indonesia, Alumni Bandung, 1985