Selasa, 24 November 2020

Jurnal Hukum Tata Pemerintahan (Pengertian Dan Ruang Lingkup Hukum Tata Pemerintahan)

TUGAS JURNAL

 


 

NAMA:

MUHAMMAD RIZKY

JUDUL:

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM TATA PEMERINTAHAN

MATA KULIAH:

HUKUM TATA PEMERINTAHAN

JURUSAN:

ILMU PEMERINTAHAN

 

 

 

BAB I

 

A. Latar Belakang

 

    Hukum Tata Pemerintahan sebagai suatu mata kuliah bermula dari penamaan mata kuliah Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Usaha Negara, walaupun pada hakikatnya di dalam ruang lingkup bahasan sesuai kebutuhan kompetensi berbeda. Jika Hukum Administrasi Negara lebih difokuskan pada tindakan hokum sepihak yang dilakukan oleh pemerintah karena hak istimewa yang dimiliki sebagaimana hakikat arti yang diberikan oleh Utrech (1968), demikian pula focus materi yang diajarkan oleh Hukum Tata Usaha Negara, maka Hukum Tata Pemerintahan tidak saja pada tindakan sepihak yang dilakukan oleh pemerintah yang sifatnya sangat otonom, sifatnya karena secara sepihak dilakukan berdasarkan atas alas an wewenang istimewa yang dimiliki akan tetapi mencakupi aturan hokum yang berkaitan dengan hubungan hokum yang terjadi antara dua pihak yang berinteraksi dalam garis hubungan kekuasaan yang melekat pada persoalan kepemerintahan secara konseptual. Hal ini didasarkan pada pemikiran substantive bahwa pemerintah ada karena kekuasaan, tidak ada pemerintah jika tidak ada kekuasaan. Dengan kekuasaan, Pemerintah bisa berbuat, bisa bertindak. Kekuasaan yang dimiliki pemerintah harus diartikan sebagai sesuatu yang istimewa (Utrech, 1968).

 

B. Permasalahan

 

    1. Menjelaskan pengertian dari Hukum Tata Pemerintahan

    2. Mengurai apa yang menjadi ruang lingkup kajian Hukum Tata Pemerintahan

 

C. Tinjauan Pustaka

 

    Menurut (Utrech, 1968) pengertian Hukum Tata Pemerintahan sendiri yaitu indicator hubungan hokum yang istimewa yang biasanya diselenggarakan dengan tujuan setiap pejabat Negara untuk melakukan kewajibannya. Utrech juga berpendapat bahwa, ciri-ciri sebuah Hokum Tata Pemerintahan adalah melaksanakan tugas khusus, menguji sebuah hubungan hokum yang istimewa dan adanya para pejabat.

 

D. Metedologi Penelitian

 

    Sebagai suatu kajian ilmiah, Hukum Tata Pemerintahan yang fokusnya adalah hokum, bukan sesuatu yang dipelajari sebagai suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, sesuatu yang memiliki objek formil dan materiil, dan bukan pula dalam kerangka hokum sebagai hal yang rasional saja yang secara deterministis, kausalitas yang harus diberlakukan secara normative, sesuatu yang bersumber dari nilai atau sesuatu yang diinginkan oleh setiap orang dan dapat diterima keberadaannya secara rasional, akan tetapi hokum sebagai aturan yang mengatur hubungan hak dan kewajiban dari dua pihak atau lebih serta hokum sebagai aturan yang mengatur yang dapat dilakukan oleh pemegang otoritas tertentu

 

E. Pembahasan

 

1. Pengertian Hukum Tata Pemerintahan

 

    Hukum Tata Pemerintahan jika dilihat sebagai suatu variabel, maka di dalamnya terkandung 3 (tiga) konsep yang memiliki arti secara sendiri-sendiri, ketiga konsep itu adalah konsep hokum, konsep tata dan konsep pemerintahan. Dua konsep yang pertama yaitu konsep hokum dan konsep tata dapat diberikan arti ketika konsep ketiga yaitu konsep “Pemerintahan” telah beroleh pengertian yang didasarkan pada rujukan yang terbakukan seperti kamus dan ensiklopedia.

    Berdasarkan itulah Ensiklopedi Nasional Indonesia, volume 12 (1997), memberikan terminology “pemerintah” dalam dua sisi pengertian yaitu dalam pengertian sempit dan dalam pengertian yang luas. Pengertian sempit, pemertintah diartikan sebagai pemegang kekuasaan eksekutif sedangkan dalam artian luas adalah seluruh lembaga dan kegiatannya dalam suatu Negara, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan legislative dan yudikatif. Pengertian ini memberikan makna bahwa pemegang kekuasaan tidak hanya difokuskan pada lembaga eksekutif akan tetapi mereka para pelaku kelembagaan dalam berbagai kegiatannya dalam kehidupan suatu Negara baik itu lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif. Semuanya itu disebut sebagai pemegang kekuasaan dalam pemerintahan, yang secara konkrit adalah mereka yang mengemban bidang tugas pokok dan yang utama yaitu melaksanakan kehendak Negara sebagaimana diperintahkan oleh konstitusi Negara. Kehendak setiap Negara selalu terurai dengan tegas dalam tujuan yang hendak dicapai baik itu melalui tujuan yang bersifat internasional maupun yang bersifat nasional menuju tercapainya sasaran Negara yaitu suatu bentuk masyarakat yang diinginkan.

    Mereka para pemegang kekuasaan pemerintahan pada hakikatnya adalah manusia-manusia pemerintah, manusia yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan kehendak Negara, manusia pemerintahan dalamsatu kesatuan system pelaksanaan kekuasaan yang diemban, yang secara filosofis menjadi obyek material dari Pemerintahan sebagai suatu ilmu maupun ilmu pemerintahan tidak memiliki obyek formal tertentu sebagaimana ilmu politik, atau ilmu administrasi, akan tetapi semua bidang kompetensi dapat dijadikan sebagai instrument untuk menjelaskan obyek materialnya. Bagaimana manusia pemerintahan melaksanakan kehendak Negara di bidang politik maka ilmu pemerintahan menggunakan kompetensi ilmu politik untuk menjelaskannya. Dalam bidang ilmu administrasi, manusia pemerintahan dapat menggunakan kompetensi ilmu administrasi untuk melakukan pengaturan. Demikian pula dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya seperti ilmu ekonomi, sosiologi, dan semua bidang ilmu-ilmu social.

    Keberadaan manusia pemerintahan sesuai ruang kegiatannya secara kuantitif tersebar dalam jumlah yang banyak pada semua lembaga pemerintahan (eksekutif, legislative dan yudikatif) dan secara kualitatif tersebar dalam tingkat-tingkat hierarkhis dalam satu kesatuan organisasi Negara serta dalam ragam posisi dan status. Mereka semuanya disebut sebagai aparatur Negara dan aparatur pemerintah, alat yang mewakili dan melaksanakan kepentingan Negara dan kepentingan pemerintah. Mereka secara keseluruhan para aparatur yang terorganisir dalam suatu bentuk organisasi yang disebut birokrasi dalam beragam status, dapat dalam status sebagai birokrasi professional, birokrasi teknis, dan birokrasi politik. Jika organisasi aparatur dilihat dalam kesatuan system kerja yang diemban, maka terkonsepsilah aparatur Negara dan pemerintah dalam system kelembagaan Negara dan kelembagaan pemerintahan.

    Dengan demikian, manusia pemerintahan disebut pula sebagai para birokrat, para pelaku kelembagaan Negara, pelaku kelembagaan pemerintah baik keberadaannya secara horizontal tersebar dalam lingkungan-lingkungan kerja yang disebut Departemen, Badan Pemerintahan, Dinas, Jawatan dan apapun namanya sepanjang dalam kegiatannya berada dalam satu kesatuan lingkungan kerja, maupun keberadaannya secara vertical mulai dari tingkat pemerintah pusat hingga daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota, dan Desa sekalipun).

    Dalam terminology lainnya, aparatur Negara dan pemerintah dikonsepsikan sebagai para administrasi Negara, dan oleh sebab itu konsepsi tentang administrasi Negara diterjemahkan sebagai public administration. Disinilah konsep pemerintah diartikan sama dengan konseppublic administration di mana public belum berkonotasi sebagai masyarakat tetapi masih dalam konteks Negara. Dalam posisi lain, khususnya bagi para aparatur pemerintah adalah sebagai warga Negara yang diangkat berdasarkan aturan perundangan yang berlaku menjadi seorang pegawai negeri sipil, pegawai  yang dibina, dikembangkan oleh Negara dengan pembiayaan oleh Negara/daerah. Mereka para pegawai negeri sipil berada dalam jumlah yang banyak serta dalam klasifikasi kualitas pendidikan yang beragam sesuai tingkat-tingkat pendidikan yang diberlakukan. Oleh karena itu pula, pemerintah selalu terkonotasi sebagai para pegawai negeri, para pegawai Negara.

    Konsep “pemerintah” didefenisikan dalam konteks pemerintahan, yang oleh Surianingrat (1988) diindikatori oleh adanya hubungan yang berlangsung dalam kerangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Hubungan yang terjadi adalah hubungan yang berlangsung secara fungsional antara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dengan rakyat sebagai pihak yang dikuasai. Kepenguasaan dalam kerangka hubungan tidak diarahkan pada konsep hogemeni secara otoriter akan tetapi dapat pula berlangsung dalam kerangka demokratisasi. Kepenguasaan akan terlihat pada penggunaan intisari “Pemerintah” yaitu “perintah” yang tidak dipersamakan dengan order atau direction akan tetapi bermakna fungsional dalam upaya pengayoman, pelayanan, dan pembangunan. Sepanjang ketiga fungsi itu diwujudkan oleh pemerintah maka hubungan kekuasaan akan terus berlangsung. Dalam fungsi pengayoman akan berlangsung hubungan kekuasaan dalam pengaturan, fungsi pelayanan akan berlangsung hubungan kekuasaan dalam pemenuhan kebutuhan, dan fungsi pembangunan akan berlangsung hubungan kekuasaan pemberdayaan. Dari konsepsi “Pemerintah” dalam pemerintahan inilah, maka terkandunglah makna atas “Pemerintah dan Rakyat” dalam satu kesatuan fungsi pelaksanaan kekuasaan tugas-tugas pemerintahan. Dari sinilah dapat pula diartikan bahwa obyek material dari ilmu pemerintahan adalah manusia pemerintahan, manusia yang berada dalam kerjasama pemerintahan, kerjasama antara pemerintah dengan rakyat sebagai pihak yang diperintah. Tanpa suatu kerjasama maka tujuan yang diinginkan oleh Negara tidak akan tercapai (Ali, 2003).

    Selanjutnya tentang konsep yang berkenaan dengan “tata” adalah dimaksudkan tidak saja dalam artian yang statis yang menunjuk kepada adanya susunan dari sesuatu hal akan tetapi dalam artian yang dinamis, tata dapat dimaksudkan sebagai aturan yang berasal dari kata dasar “atur” sebagai substansi dari apa yang disebut dengan “administrasi” (Ali, 2004) yang berarti pengaturan atas kegiatan yang berlangsung. Dalam konteks inilah “tata pemerintahan” adalah dimaksudkan dengan pengaturan pemerintahan atau yang divariabelkan dengan administrasi pemerintahan Negara yang pada akhirnya dapat disingkat dengan dalam variabel administrasi Negara.

    Sedangkan konsep “hokum” dalam pemikiran sederhana dimaksudkan sebagai aturan, akan tetapi konsep aturan terarah pada pengertian hokum yang tertulis, sedangkan secara factual ditemukan aturan yang tidak tertulis yang disebut sebagai hokum yang tidak tertulis. Kenyataan inilah menunjukan bahwa konsep hokum memiliki pengertian yang luas dibandingkan dengan pengertian aturan. Aturan dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis namun dalam isi keduanya mengandung aturan hokum, aturan yang harus diberlakukan baik itu berisi perintah untuk melakukan sesuatu atau larangan untuk berbuat sesuatu, ataukah pembolehan yang dapat dilakukan dan ataukah hal yang berkaitan dengan hal-hal yang dikecualikan yang kesemuanya itu menjadi pilar dari hokum ketika hokum dilihat dalam konstruk yang konkret. Hukum diterminologikan dengan term “ius” sedangkan aturan dalam konsep tertulis (undang-undang) dan tidak tertulis dengan termasuk konvensi dan adat istiadat dengan term “lex”.

    Secara defenitif apa yang disebut dengan hokum, beragam pengertian sesuai dengan pendekatan yang digunakan. Ada pendekatan dari sisi factual dan realita, ada pendekatan dari sisi tujuan yang hendak dicapai, ada pendekatan dari sisi substansi dan berbagai pendekatan yang digunakan oleh para ahli. Dari sekian banyak pendekatan, focus materi ajaran hokum tata pemerintahan hanya beberapa pendekatan yang dapat disajikan sesuai kebutuhan kompetensi bidang yang diajarkan, yaitu bidang kompetensi ilmu pemerintahan, program studi yang dikembangkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

    Pendekatan factual dan realistis adalah pendekatan yang melihat hokum sebagai fakta empiric di mana hokum diartikan sebagai polisi, penjara dan berbagai person dan lembaga yang selalu bersentuhan dengan kenyataan atas keberlakuan sesuatu aturan hokum. Pengertian itu dapat kita buktikan ketika kita mempertanyakan kepada seseorang dengan statusnya sebagai seorang pengemudi becak, apakah yang dimaksudkan dengan “hokum”. Dapat dipastikan bahwa jawaban yang kita peroleh adalah bahwa hokum itu adalah polisi. Jawaban demikian itu tentunya dapat dibenarkan karena seseorang pengemudi becak yang secara rata-rata memiliki pendidikan yang rendah malah bisa mungkin tidak pernah mengalami pendidikan. Kemampuan yang dimiliki hanyalah sebatas apa yang dilihat dan apa yang dialaminya. Seorang pengemudi becak, ketika ia melakukan pelanggaran berlalu lintas dan berkendaraan, yang ia hadapi bukanlah hokum atau undang-undang akan tetapi mereka yang mempertahankan hokum agar hokum ditaati. Polisi adalah penjaga ketertiban dalam masyarakat dan ketika seseorang anggota masyarakat melakukan pelanggaran seperti salah jalan atau tidak memiliki surat izin mengemudi kendaraan bermotor, maka yang dihadapinya adalah polisi, polisi yang mempertahankan ketertiban, polisi yang mempertahankan ditaatinya aturan hokum oleh setiap anggota masyarakat dalam berbagai status dan perannya. Walhasil dengan pemikiran spontanitas, jawaban yang sangat factual empiric itu akan terlontar sebagai jawaban yang benar. Jawaban yang lahir dari pemikiran demikian itu, dikonsepsikan oleh Van Apeldorn (1962) sebagai jawaban dari mereka yang digolongkan sebagai “the man in the street” (manusia jalanan).

    Pendekatan factual empiric lainnya, ketika jawaban dari mereka atas pertanyaan, “apa itu hokum” yaitu deretan pasal yang tak berkesudahan. Kebenaran atas jawaban ini karena didasarkan pada fakta yang secara empiric bahwa setiap kali orang berhadap dengan peristiwa hokum, yang akan terlihat olehnya adalah pasl-pasal yang memuat aturan yang dalam isinya setidaknya memuat keempat pilar hokum yaitu perintah, larangan, perijinan dan dispensasi. Pendapat dengan pendekatan demikian itu adalah sama dengan pendekatan yang dilakukan oleh mereka yang digolongkan “the man in the street” tetapi tidak dapat dikatakan sebagai pendapat golongan tersebut, akan tetapi pendapat dari mereka yang digolongkan de ontwikelde leek (Van Apeldorn, 1962) atau mereka kaum terpelajar. Mereka para terpelajar akan memandang hokum sebagai hal yang membosankan, membosankan karena setiap kali selesai membaca pasal-pasal dari suatu aturan akan diperhadapkan dengan pasal-pasal lain ketika membuka dan membaca aturan lainnya, demikian seterusnya.

    Pendekatan lain yang dapat dikemukakan untuk keperluan kompetensi bidang ilmu pemerintahan adalah pendekatan dari sisi tujuan hokum. Jika tujuan hokum itu adalah untuk menciptakan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat maka menurut penulis hokum dapat didefenisikan sebagai aturan-aturan tingkah laku guna terwujudnya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. Ini berarti bahwa hokum diberlakukan untuk mencapai ketertiban, dan tercapainya ketertiban pada gilirannya akan mewujudkan rasa aman, rasa damai, tanpa ada konflik, tanpa ada sengketa, semua berjalan dalam lalu lintas yang teratur sesuai dengan jalur-jalur aturan yang diberlakukan. Defenisi yang dirumuskan dalam pendekatan tujuan pada gilirannya dapat melahirkan rumusan hokum dari sisi peralatan di mana hokum dapat pula didefenisikan sebagai alat untuk mempermudah lalu lintas interaksi manusia dalam berbagai bidang kehidupan.

    Namun, jika dilakukan pengkajian yang lebih mendalam hingga akan sampai pada persoalan substansi, maka hokum dapat didefenisikan sebagai titik keseimbangan dari apa yang dikatakan baik dan apa yang dikatakan tidak baik (Faried Ali, 2004). Ketika keseimbangan itu tidak tercipta dan pemberatan berada pada timbangan sebelah kiri ataupun kanan maka ranah kesewenangan yang akan muncul dari akibat sesuatu kekuasaan yang mendominasi. Bisa mungkin otoritarian, bisa mungkin tirani, hingga kemungkinan kewenangan demokrasi tanpa batas yang melahirkan kesewenangan oligarsi kelompok, oligarsi sipil sebagaimana pendapat Jeffri Winters (2011) dalam kuliah umum di depan masyarakat ilmiah pada Universitas Hasanuddin. Namun, ketika keseimbangan itu tercipta maka ujung penyelesaiannya pada tuntutan adanya keberlakuan keadilan.Itulah substansi dari hokum, dan keadilan pun dapat dirumuskan sebagai titik keseimbangan dari apa yang dikatakan baik dan apa yang dikatakan buruk. Dengan demikian pun dapat dikatakan bahwa diwujudkan keadilan adalah menentang kesewenangan, dan hal itu bukanlah hal yang mudah dilakukan. Akan begitu banyak factor yang mempengaruhi ke arah mana jarum keadilan bergerak, dapat saja factor pemerintahan akan mengintervensi, bisa mungkin factor kekuasaan dalam artian kepentingan kelompok akan mewarnainya, dapat pula factor interaksi dalam pergaulan internasional akan turut serta menjadi bahan pertimbangan ketika keadilan itu diwujudkan, factor informasi yang tidak valid dan reliable mendominasi komunikasi menjelang diterapkannya kehendak keadilan, factor manusia dalam kelompok pun akan ikut turut serta dalam mewujudkan warna keadilan yang akan diberlakukan, factor pengaturan secara administrative akan menjadi penghambat terwujudnya keadilan, dan hingga factor manusia dengan budaya yang menentang atau mendukung akan melancarkan diberlakukannya keadilan itu. Walhasil, persoalan hokum bukan saja terbatas pada persoalan aturan yang ditaati dan dilanggar akan tetapi lebih dalam dari itu yaitu persoalan keadilan adalah persoalan yang sulit diwujudkan secara obyektif karena ia melekat pada subyektifitas para penegak hokum, para pelaksana hokum dan para pembenah hokum atau mereka yang mempertahankan keadilan.

    Hukum sebagai focus dari mata kuliah hokum tata pemerintahan bukan sesuatu yang dipelajari sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, sesuatu yang memiliki obyek formal dan materiil, dan bukan pula dalam kerangka hokum sebagai hal yang rasional saja yang secara deterministis, kausalitas harus diberlakukan secara normative, sesuatu yang bersumber dari nilai atau sesuatu yang diinginkan oleh setiap orang dan dapat diterima kebenarannya secara rasional. Akan tetapi, hokum sebagai aturan yang mengatur hubungan hak dan kewajiban dari dua pihak atau lebih serta hokum sebagai aturan yang mengatur yang dapat dilakukan oleh pemegang otoritas tertentu.

    Dalam konteks atau lokus hokum dengan pengertian sebagai hubungan hak dan kewajiban dari dua pihak atau lebih hokum sebagai aturan yang diberlakukan oleh otoritas tertentu, maka jika diletakkan pada konsep tata pemerintahan atau pengaturan pemerintahan, ia akan berkonotasi sebagai hubungan hak dan kewajiban dari mereka manusia yang memiliki kekuasaan serta mereka yang melakukan kerjasama yang berlangsung antara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, pemerintah sebagai pengatur dengan rakyat sebagai pihak yang dikuasai dan sebagai pihak yang diatur, juga berarti sebagai aturan yang diberlakukan secara sepihak oleh pemerintah karena kekuasaan yang dimiliki, sepihak karena tidak memerlukan kesepakatan dari pihak yang dikuasai dan pihak yang diatur.

    Hubungan hak dan kewajiban yang berlangsung dalam penyelenggaraan pemerintah adalah merupakan hubungan hokum yang berlangsung antara pemerintah dan pihak yang diperintah (rakyat, warga Negara, penduduk, public), hubungan hokum mana memiliki akibat-akibat hukum berupa pembebanan hak dan kewajiban dari mereka yang melakukan hubungan. Sedangkan aturan yang diberlakukan oleh otoritas tertentu secara sepihak adalah juga termasuk pada materi hokum tata pemerintahan.

    Oleh karena itu, dapat dirumuskan bahwa hokum tata pemerintahan adalah hokum yang mengatur tentang tata penyelenggaraan pemerintahan baik dalam konteks yang luas maupun dalam konteks yang sempit.

    Dalam konteks yang luas, maka hokum tata pemerintahan adalah hokum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pihak yang diperintah dalam rangka terselenggaranya kekuasaan pemerintahan maupun terselenggaranya kerjasama di dalam pencapaian tujuan Negara sebagaimana diisyaratkan oleh konstitusi Negara. Di dalam konteks yang luas, maka hokum tata pemerintahan hanya akan dibatasi pada konsep pemerintahan dalam artian eksekutif sebab jika dalam konsep legislative, eksekutif dan yudikatif, hal itu akan memasuki bidang kompetensi hokum tata Negara yaitu hokum yang membicarakan hubungan kewenangan organ Negara, seperti hubungan eksekutif dengan legislative.

    Sedangkan dalam konteks yang sempit, hokum tata pemerintahan dapat didefenisikan sebagai aturan hokum yang diberlakukan oleh pemerintah karena otoritas yang dimilikinya secara sepihak dan di dalam hal-hal yang tertentu yang sifatnya konkret, seperti ketetapan yang dibuat dan diberlakukan oleh pemerintah.

 

2. Ruang Lingkup Hukum Tata Pemerintahan

 

    Walaupun telah tersirat pada pengertian atas hokum tata pemerintahan sebagaimana diuraikan di atas, namun untuk mempertegas apa yang menjadi ruang lingkup kajian Hukum Tata Pemerintahan, sangat perlu menjelaskan kembali makna defenisi yang dikemukakan di atas.

    Di defenisikan bahwa hokum tata pemerintahan dalam artian yang luas adalah hokum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dengan pihak yang diperintah baik dalam rangka terselenggaranya kekuasaan pemerintahan maupun terselenggaranya kerjasama di dalam pencapaian tujuan Negara sebagaimana diisyaratkan oleh konstitusi Negara.

    Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada hakikatnya menjadi perwujudan dari fungsi yang diemban, fungsi mana menurut Ryas Rasyid (2002) meliputi fungsi pelayanan, pengayoman/pengaturan, dan fungsi pemberdayaan (pembangunan). Ketika hal itu difokuskan pada konteks pemerintahan dalam artian yang luas. Namun dalam konteks yang luas, fungsi pemerintah adalah melakukan pengembangan bidang tugas dalam pencapaian tujuan Negara sebagaimana diisyaratkan oleh konstitusi setiap Negara.

    Jika memperhatikan perwujudan ketiga fungsi dalampenyelenggaraan pemerintahan, maka pada ketiga fungsi terkandung adanya dua pihak yang berinteraksi yaitu pihak yang memberi pelayanan atau pihak yang menyediakan berbagai kebutuhan dan keperluan dari pihak yang dilayani, pihak yang mengayomi/pengatur, pihak yang diberdayakan dan pihak yang menerima layanan yang diberikan, menerima dan memanfaatkan berbagai kebutuhan yang disediakan oleh pemberi layanan, pihak yang diayomi dan pihak yang diberdayakan. Dalam konteks interaksi lapangan fungsi pelayanan itulah hokum tata pemerintahan menjadi lokus di mana hubungan interaksi berlangsung hubungan pemerintah sebagai pihak yang memberi layanan dan pihak yang diperintah (rakyat, warga Negara, penduduk dan masyarakat) sebagai pihak yang menerima layanan. Pemberian layanan adalah menjadi suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan atas dasar itulah lahir hak pemerintah untuk melakukan pembebanan sejumlah pembayaran atas jasa layanan yang diberikan serta bebagai pengaturan pelayanan dan menuangkannya ke dalam aturan-aturan yang dibentuk guna menjadi patokan berpikir dan bertindak bagi semua pihak, baik pihak pemerintah maupun pihak yang diperintah.

    Demikian pula dalam hal pengayoman atau perlindungan, pemerintah berkewajiban untuk melakukan perlindungan terhadap rakyat di dalam berbagai peran dan statusnya (warga Negara, penduduk, anggota masyarakat, ataupun kelompok kepentingan) baik perlindungan yang dilakukan perangkat pemerintah di bidang ketertiban dan keamanan (dalam maupun dari luar) maupun melalui penyediaan aturan-aturan hokum yang dapat diberlakukan (undang-undang, peraturan pemerintah dan berbagai aturan linnya secara hierarkis), dan dari oleh karena itu, pemerintah memiliki hak untuk memberikan berbagai pembebanan atas konsekuensi yang timbul dari perlindungan yang dilakukan oleh perangkat pemerintah seperti melakukan pemaksaan atas terwujudnya kondisi yang tertib dan aman serta hak untuk memperlakukan berbagai aturan agar pihak rakyat akan selalu berada dalam kehidupan yang tertib dan damai melalui hak penegakan aturan yang secara khusus harus dilakukan oleh para penegak dan atau lembaga penegak hokum dan oleh pemerintah pada umumnya. Dalam kaitannya dengan rakyat, maka terhadap hak dan kewajiban pemerintah harus berada dalam hubungan kekuasaan dengan rakyat melalui hak dan kewajiban yang dimiliki, hak dan kewajiban mana harus mewujud dalam perbuatan hokum yang berlangsung, perbuatan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka yang melakukan hubungan hokum. Rakyat sebagai pihak yang diperintah dalam konteks hubungan kekuasaan, maka kewajiban yang harus dipenuhi adalah melaksanakan segala apa yang harus dilakukan oleh pemerintah berkaitan dengan pengayoman atau perlindungan yang diberikan yang pada gilirannya diikuti dengan pemikiran hak rakyat atas rasa aman dan rasa tertib dari ancaman baik yang datangnya dari akibat interaksi antara sesama rakyat dalam berbagai peran dan statusnya atau antara rakyat dengan pemerintah maupun ancaman dari luar termasuk di dalamnya hak perlindungan yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat yang bekerja di luar negeri dalam batas-batas keberlakuan system hokum yang diberlakukan.

    Dalam hal pemberdayaan atau upaya pengembangan potensi yang dimiliki oleh rakyat dalam berbagai peran dan statusnya, pemerintah berkewajiban untuk melakukan perubahan atas keadaan yang dimiliki rakyat, perubahan mana berlangsung dalam berbagai dimensi seperti dimensi social, ekonomi, politik, budaya dan oleh karena itu pemerintah memiliki hak untuk melakukan perencanaan pembangunan yang berdaya guna serta berhasil guna dengan berbagai konsekuensi pelaksanaan hak yang dimiliki seperti adanya tantangan, kesulitan, yang diikuti dengan kewajiban untuk melakukan pembangunan dengan berbagai konsekuensi logisnya. Dalam hubungannya dengan rakyat, maka kepada rakyat dibebani kewajiban untuk berperan ikut serta dalam pembangunan yang dilakukan yang diikuti oleh hak untuk menikmati hasil pembangunan yang dilakukan.

    Ketiga macam hubungan hak dan kewajiban yang terimplementasikan dalam pelaksanaan fungsi pemerintah, memberikan petunjuk atas ruang lingkup hokum tata pemerintahan berada dalam ruang yang heteronom, ruang yang menggambarkan adanya dua pihak yang melakukan hubungan hokum yang berlangsung dalam ikatan hubungan kekuasaan dan hubungan dalam pengaturan.

    Demikian pula dalam interaksi yang lebih luas yaitu interaksi yang berlangsung dalam hubungan pemerintahan dalam artian yang luas yaitu hubungan antara sesama organ pemerintahan Negara dan dengan warga Negara, hubungan hokum pun akan berlangsung dalam konteks hokum tata pemerintahan.

    Di lain sisi, hubungan pemerintah dengan rakyat di dalam berbagai peran dan statusnya baik dalam konteks kekuasaan maupun dalam konteks pengaturan kerjasama, akan selalu berada dalam hubungan hokum, akan selalu dipandang sebagai perbuatan hokum akan tetapi dapat pula terjadi dalam perbuatan biasa atau perbuatan yang tidak berakibat hukum seperti perbuatan perencanaan, pelaksanaan termasuk pemeliharaan hubungan dan pengawasan atas berbagai kegiatan pemerintahan. Hubungan hukum yang berlangsung antara pemerintah dengan rakyat di dalam berbagai peran dan statusnya secara fungsional dan hubungan hukum antara sesama organ pemerintahan Negara dan terhadap warga Negara adalah menjadi meteri dari hukum tata pemerintahan heteronom.

    Namu, yang lebih spesifik pada hukum tata pemerintahan ketika hubungan pemerintah dengan rakyat berada dalam hubungan hukum yang terjadi secara sepihak tanpa memerlukan kesepakatan dari rakyat.

    Spesifikasi yang dimiliki oleh hukum tata pemerintahan, ketika hubungan yang terjadi adalah secara sepihak tetapi dalam kerangka pembebanan dan pembolehan atas hak dan kewajiban oleh pemerintah kepada rakyat melalui perintah, larangan, perizinan dan dispensasi diberlakukan secara positif. Pembebanan dan pembolehan secara sepihak itu dilakukan oleh pemerintah karena kekuasaan yang dimiliki dan menempatkan pemerintah sebagai penguasa yang menghegomoni rakyat.

    Hegomoni yang terjadi dalam konteks hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan rakyat menempatkan rakyat sebagai pihak yang dikuasai sedangkan pemerintah adalah sebagai penguasa. Dalam kerangka itulah, dimungkinkan terjadinya perlakuan wewenang khusus atau wewenang yang sifatnya istimewa yang dimiliki oleh pemerintah dan memungkinkan pemerintah melakukan perbuatan atau tinakan hukum yang berlangsung secara sepihak, walaupun pada akibat hukum yang terjadi sebagai akibat dari tindakan istimewa tercipta suatu hubungan hak dan kewajiban antara pemerintah sebagai penguasa dengan/terhadap rakyat sebagai pihak yang dikuasai.

    Sebagai penguasa, pemerintah, menurut Donner (Hadjon dkk, 1994), memiliki empat fungsi yang terdiri dari (1) Pemeliharaan ketertiban, (2) Pengelola keuangan, (3) Tuan tanah, (4) Pengusaha.

    Jika dilakukan pemahaman secara mendalam atas uraian Donner (Hadjon dkk, 1994) atas keempat fungsi penguasa dan untuk kemudian dilakukan analisa guna klasifikasi pemahaman maka dalam hal fungsi pemeliharaan ketertiban, yang digolongkan pada perbuatan berakibat hukum secara sepihak adalah perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal-hal yang dapat diklasifikasi atas: (1) Penetapan peraturan yang mengatur hubungan hukum antara sesama

rakyat dalam berbagai peran dan statusnya, yang pelaksanaan akibat hukum diserahkan kepada mereka yang melakukan hubungan berdasarkan peraturan yang diberlakukan, sebagaimana peraturan yang berkenaan dengan hak-hak keperdataan (hukum perdata), (2) Penetapan peraturan, yang penegakkan atau penegakkan akibat-akibat hukumnya berada di tangan pemerintah sebagaimana perlakuan peraturan tentang lalu lintas, peraturan tentang pemeliharaan ketertiban, (3) Penetapan peraturan berkenaan dengan pembebanan kewajiban seperti kewajiban kepemilikan kartu tanda penduduk elektronik, kewajiban membayar pajak, kewajiban memiliki perizinan atas kegiatan-kegiatan tertentu yang diatur oleh pemerintah serta pembolehan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat melalui peraturan umum yang diberlakukan.

    Posisi penguasa dalam fungsi pemeliharaan ketertiban pada awalnya sangat memungkinkan terjadinya perbuatan atau tindakan hukum secara sepihak karena wewenang istimewa yang dimiliki, namun ketika perbuatan/tindakan hukum berakibat hukum diterima/ditanggung oleh rakyat sebagai pihak yang dikuasai, maka untuk kemudian akan terjalin hubungan hukum antara pemerintah sebagai penguasa dengan rakyat sebagai pihak yang dikuasai. Sedangkan perbuatan yang tidak berakibat hukum dan dilakukan baik secara sepihak maupun secara bersama-sama adalah seperti perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, pemeliharaan kegiatan dan pengawasan kegiatan.

    Namun, walaupun dikatakan bahwa peraturan pemerintah yang dilakukan secara sepihak dalam uraian ini tidaklah dimaksudkan peraturan pemerintah dalam bentuk undang-undang atau yang setingkatnya mengingat hal itu berlangsung dalam proses kesepakatan eksekutif dan legislative berdasarkan konstitusi, apalagi jika hal itu dilihat dari konteks demokrasi.

    Selanjutnya, dalam hal fungsi pengelolaan keuangan maka pemerintah sebagai penguasa memiliki hak untuk melakukan pungutan pajak, pungutan atas jasa fasilitas yang disediakan, pungutan untuk perolehan anggaran pendapatan belanja Negara dan berbagai kepenguasaan lainnya. Pemerintah sebagai penguasa berkewajiban memberikan bantuan, penyediaan subsidi, penyediaan kredit tanpa diminta dan apalagi jika diminta oleh rakyat. Tanpa diminta memberikan indikasi adanya tindakan hukum yang terjadi secara sepihak akan tetapi lahir dari tanggung jawab pemerintah sebagai penguasa. Dengan diminta, memberikan indiksi bahwa kepenguasaan yang dimiliki oleh pemerintah akan selalu berada dalam hubungan kekuasaan dengan pihak yang diperintah (rakyat dalam berbagai peran dan statusnya), hubungan mana terkandung hubungan hak dan kewajiban kepenguasaan.

    Sedangkan dalam hal posisi pemerintah sebagai penguasa tanah atau disebut sebagai tuan tanah, pada hakikatnya memberikan makna arti bahwa pemerintah sebagai penguasa beroleh kekuasaan dari Negara dengan pengertian bahwa pemerintah bertindak, berbuat dan berpikir atas kehendak Negara. Ketika Negara mendasarkan supremasi pada konstitusi, maka keinginan Negara tercermin pada keinginan konstitusi.

    Sebagaimana di Indonesia, keinginan Negara adalah tercrmin pada tujuan Negara dan hak serta kewajiban dasar dari Negara dan warga Negara terurai dengan tegas dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.

    Salah satu hak dan kewajiban dasar Negara adalah penegasan bahwa “Bumi serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah dikuasai oleh Negara (pasal 33)”. Pasal ini memberikan petunjuk bahwa betapa luasnya kekuasaan pemerintah sehingga menjadikan ia sebagai penguasa tanah. Bumi adalah terdiri dari tanah, air dan ruang angkasa di atas tanah dan air. Semuanya itu dikuasai oleh Negara dan diserahkan kepada pemerintah sebagai penguasa untuk menguasainya. Untuk selanjutnya dalam pasal itu pun pada ayatnya diikuti dengan penegasan bahwa penggunaannya sebanyak-banyaknya untuk kepentingan rakyat.

    Penguasaan dan penggunaan atas tanah memerlukan pengaturan lebih lanjut, dan oleh karena itu pemerintah sebagai penguasa bumi dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dapat diterjemahkan sebagai penguasa tanah, dan inilah merupakan hak mutlak dari pemerintah, hak kepenguasaan yang dimiliki oleh pemerintah. Dengan demikian, pemerintah dengan fungsinya demikian itu adalah yang paling terkaya dalam kehidupan bernegara sedangkan rakyat adalah paling termiskin, dan oleh karena itu Negara memiliki hak untuk merampas segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi yang telah dikelola oleh rakyat dalam berbagai peran dan statusnya berdasarkan aturan perundangan yang berlaku.Ketika hal itu dipertimbangkan oleh pemerintah digunakan untuk kepentingan umum, pemerintah dapat melakukan pembatasan atas kepemilikan rakyat berdasarkan aturan perundangan tentang tanah, dapat melakukan pembebanan kepada rakyat berupa kewajiban membayar pajak atas kepemilikan tanah yang diperolehnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

    Perampasan dan pembatasan serta pembebanan pemerintah terhadap rakyat berkaitan dengan tanah, adalah merupakan wewenang yang sifatnya istimewa dan menjadikan pemerintah dapat melakukan perbuatan hukum yang berlaku secara sepihak. Walaupun setelah kemudian tindakan sepihak dilakukan pada gilirannya akan mewujudkan hubungan hukum pemerintah sebagai penguasa dengan kapasitas sebagai tuan tanah dengan rakyat sebagai pihak yang dikuasai seperti hubungan pembayaran pajak di mana pemerintah berhak untuk melakukan penagihan jika mungkin dapat memaksakan atas nama Negara sedangkan rakyat berkewajiban untuk membayarnya walaupun tanah itu telah menjadi miliknya.

    Sebagai pengusaha yang merupakan fungsi keempat dari penguasa, menurut Donner (Hadjon dkk, 1994), hal ini dapat saja diartikan sebagai pelaksana kegiatan yang bersifat bisnis dan dapat pula kegiatan yang berorientasi pada usaha pemenuhan kepentingan Negara atau kepentingan umum. Jika hal itu diarahkan pada usaha bisnis maka sasarannya adalah pencarian keuntungan yang sebesar-besarnya sebagaimana pemerintah melakukan pengelolaan atas sumber kekayaan alam yang dimiliki Negara seperti usaha pertamina dan usaha-usaha lain yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara di mana hasil dan keuntungannya adalah untuk sumber pendapatan belanja Negara. Jika usaha yang dilakukan tidak untuk bisnis, maka hal itu ditujukan untuk memberikan jaminan dan penyediaan atas kebutuhan dan kepentingan umum dan kepentingan Negara sebagaimana usaha pekerjaan umum berupa pembuatan dan penyediaan serta pemeliharaan jalan/transportasi dan semacamnya, penjagaan pertahanan keamanan melalui penyediaan Angkatan Bersenjata yang tangguh, penyediaan sarana dan prasarana jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti penyediaan jasa pos, telepon walaupun hal ini kepada pihak swasta dimungkinkan untuk ikut serta berpartisipasi dalam pengusahaannya. Hal-hal yang berkaitan dengan usaha inilah menjadikan pemerintah sebagai penguasa atas berbagai jasa dan kebutuhan rakyat dalam berbagai status dan perannya. Penyediaan segala sesuatu yang diusahakan oleh pemerintahan dalam kapasitas sebagai pengusaha dilakukan secara sepihak tanpa perlu melakukan persetujuan dengan rakyat.

    Namun setelah tindakan sepihak itu dilakukan maka hubungan hukum akan terjalin dalam bentuk pemanfaatan fasilitas, pemeliharaan dan penaatan atas berbagai ketentuan atas penggunaan usaha yang dilakukan pemerintah oleh rakyat dalam hubungan kekuasaan yang berlangsung.

    Demikian apa yang menjadi ruang lingkup materi Hukum Tata Pemerintahan yang dapat disimpulkan dalam dua ruang lingkup, yaitu ruang lingkup Hukum Tata Pemerintahan yang obyeknya bersifat heteronom dan Hukum Tata Pemerintahan yang obyeknya bersifat otonom

 

F. Kesimpulan dan Saran

 

    Dalam konteks yang luas, maka hokum tata pemerintahan adalah hokum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pihak yang diperintah dalam rangka terselenggaranya kekuasaan pemerintahan maupun terselenggaranya kerjasama di dalam pencapaian tujuan Negara sebagaimana diisyaratkan oleh konstitusi Negara. Di dalam konteks yang luas, maka hokum tata pemerintahan hanya akan dibatasi pada konsep pemerintahan dalam artian eksekutif sebab jika dalam konsep legislative, eksekutif dan yudikatif, hal itu akan memasuki bidang kompetensi hokum tata Negara yaitu hokum yang membicarakan hubungan kewenangan organ Negara, seperti hubungan eksekutif dengan legislative.

    Sedangkan dalam konteks yang sempit, hokum tata pemerintahan dapat didefenisikan sebagai aturan hokum yang diberlakukan oleh pemerintah karena otoritas yang dimilikinya secara sepihak dan di dalam hal-hal yang tertentu yang sifatnya konkret, seperti ketetapan yang dibuat dan diberlakukan oleh pemerintah.

    Dan juga apa yang menjadi ruang lingkup materi Hukum Tata Pemerintahan yang dapat disimpulkan dalam dua ruang lingkup, yaitu ruang lingkup Hukum Tata Pemerintahan yang obyeknya bersifat heteronom dan Hukum Tata Pemerintahan yang obyeknya bersifat otonom

    Sesuai dengan materi yang disampaikan, saran saya sebagai penulis, agar kita dapat menerapkan Hukum Tata Pemerintahan dalam kehidupan kita, karena hubungan hukum dalam Hukum Tata pemerintahan terjalin antara Pemerintah dan juga kita sebagai Rakyat, yang membutuhkan satu sama lain

 

 

 

Daftar Pustaka

 

 

A.D Belinfante dan H. Boerhanuddin Soetan Batoeah, Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara, 

            Binacipta, IKAPI,1983.

 

Bayu Surianingrat, Mengenal Ilmu Pemerintahan, Aksara Baru, Jakarta, 1987.

 

Bachsan Mustafa, Pokok Hukum Administrasi Negara Indonesia, Alumni Bandung, 1985

 

 

  

Makalah Politik Hukum Agraria (Kasus Illegal Logging Di Kepulauan Riau)

 

UAS POLITIK HUKUM AGRARIA

 

 



NAMA:

 

MUHAMMAD RIZKY

 

NPM:

 

201310097

 

JUDUL:

 

KASUS ILLEGAL LOGGING DI KEPULAUAN RIAU

 

JURUSAN:

 

ILMU PEMERINTAHAN

 

 

 

 

 

KATA PENGANTAR

 

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.Makalah ini membahas tentang kasus Pembalakan Liar (Illegal Logging).

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya.Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Menurut Forest Watch Indonesia (FWI), deforestasi di Indonesia semakin tidak terkendali. Hal ini diakibatkan oleh sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Hal ini diperkuat dengan fakta-fakta sebagai berikut:
- Lebih dari setengah kawasan hutan di Indonesia dialokasikan untuk produksi kayu

berdasarkan sistem tebang pilih. Banyak perusahaan HPH yang melanggar pola-pola tradisional

hak kepemilikan dan hak penggunaan lahan. Menurut klasifikasi pemerintah, saat ini hampir

30% dari konsesi HPH yang telah disurvey masuk kategori sudah terdegradasi.
- Hutan tanaman industri telah dipromosikan secara besar-besaran dan diberi subsidi sebagai

suatu cara untuk menyediakan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia.

Hampir 9 juta ha lahan sebagian besar adalah hutan alam telah dialokasikan untuk hutan

tanaman industri.
- Lonjakan pembangunan perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit yakni 7 juta ha lahan

hutan telah dirubah untuk perkebunan.
- Pencurian kayu (illegal logging) turut memperburuk kondisi hutan dengan hampir 50-70%

kebutuhan kayu untuk segala macam keperluan didapatkan melalui illegal logging dan telah

menghancurkan 10 juta ha lahan hutan.
- Pada era 1985 – 1997 terjadi pembukaan lahan baru sekitar 4 juta ha hutan untuk dicetak

sebagai sawah baru tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan.
- Program transmigrasi sejak era 1960 – 1999 telah membuka lahan hutan sebagai tempat

pemukiman para transmigran sebesar 2 juta ha lahan hutan.

B.    Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang kasus pembalakar liar atau yang biasanya disebut illegal logging.

 

C.    Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberitahu kepada pembaca sekalian bagaimana caranya untuk menghadapi masalah pembalakan liar ini.

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A. Pengertian Illegal Logging

Menurut FWI Simpul Papua, Illegal logging ada dua jenis yaitu : 1) yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya, 2) melibatkan pencuri kayu dimana pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.
Dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2001 (Tuti Budhi Utami, 2007) illegal logging adalah penebangan kayu di kawasan hutan dengan tidak sah.
Haryadi Kartodiharjo, 2003 (Tuti Budhi Utami, 2007) illegal logging merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu di dalam kawasan hutan negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan melebihi dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan.
Illegal logging berarti rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengelohan hingga kegiatan ekspor kayu tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena dipandang sebagai suatu perbuatan yang dapat merusak hutan (Tuti Budhi Utami, 2007).
Operasi/kegiatan kehutanan yang belum mendapat izin dan yang merusak termasuk kategori illegal logging (LSM Indonesia Telapak, 2002).
Illegal logging meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan ekploitasi sumber daya hutan yang berlebihan.Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi disemua lini tahapan produksi kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondongan, tahap pemrosesan dan tahap pemasaran, dan bahkan meliputi penggunaan cara-cara yang korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran keuangan seperti penghindaran pajak (Wahyu Catur Adinugroho, 2009).
Selain illegal logging ada juga istilah pembalakan illegal, kerusakan hutan, pembalakan liar dan pembalakan yang merusak.Pembalakan illegal adalah semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia (Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch).
Kerusakan hutan menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.
Pembalakan liar yaitu rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hokum yang berlaku.Kegiatan ini dipandang sebagai perbuatan yang dapat merusak hutan.Suarga, 2005 (Topo Santoso, 2011).

Pembalakan yang merusak (destructive logging) yaitu penebangan hutan yang melanggar prinsip-prinsip kelestarian yang dilakukan oleh perusahaan kehutanan yang memiliki izin resmi dari pemerintah.(UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dalam Topo Santoso, 2011).
Berdasarkan pada beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa illegal logging adalah suatu kegiatan yang terdiri dari penebangan, pengangkutan, pengelohan dan pengiriman kayu yang dilakukan oleh secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan baik yang dilakukan secara pribadi maupun oleh badan usaha.
Laksono, 2004 (Tuti Budhi Utami, 2007) pemerintah sejauh ini hanya melontarkan untuk memberantas penebangan liar (illegal logging) maupun perdagangan kayu liar (illegal trading).Meskipun demikian, sejauh ini pemerintah tidak mempunyai konsep apalagi strategi kongkrit untuk memberantas penebangan liar.
Menteri Kehutanan, Prakosa (2002) tiap tahun negara diperkirakan mengalami kerugian hingga 31 Trilyun akibat illegal logging (pencurian, penebangan, peredaran serta perdagangan kayu secara illegal.
Luas areal hutan yang perlu direboisasi diseluruh Indonesia mencapai 43,111 juta hektar meliputi Pulau Jawa 111 ribu hektar serta di luar Pulau Jawa seluas 43 juta hektar. Idealnya, Pulau Jawa mempunyai hutan 30% dari luas daratan.Namun sampai saat ini baru 23% dikurangi lahan kritis yang mencapai antara 250 ribu ha sampai 300 ribu ha (Prakosa, dalam Kompas 5 Januari 2003).

 

B. Persoalan Illegal Logging Di Kepulauan Riau

 

Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan cukup luas. Hampir 90 persen hutan di dunia dimiliki secara kolektif dimiliki oleh Indonesia dan 44 negara lain. Bahkan, negeri ini juga disebut sebagai paru-paru dunia.Tapi kenyataannya banyak orang menyalahgunakan pemanfaatan hutan dengan melakukan illegal logging.penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Tingginya kasus ilegal logging di Indonesia juga menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat parah, sehingga menyebabkan bencana alam serta hilangnya sejumlah species keanekaragaman hayati.

Saat ini Riau didera masalah illegal logging yang berada di daerah pedalaman hutan Riau.Banyak masyarakat setempat memanfaatkan kayu untuk membuat aneka ragam jenis alat rumah tangga dan bahan pembuat kertas.Kayu masih menjadi primadona Pendapatan Asli Daerah. Produksi komersial mencakup produksi kayu dan olahannya, produksi sawit, serta perkebunan lain. jadi mereka mencari keuntungan lebih dengan cara curang seperti penenebangan pohon secara liar.

Penebangan hutan secara ilegal itu sangat berdampak terhadap keadaan ekosistem di Riau.Penebangan memberi dampak yang sangat merugikan masyarakat sekitar, bahkan masyarakat Indonesia maupun dunia. Kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan hutan tidak hanya kerusakan secara nilai ekonomi, akan tetapi juga mengakibatkan hilangnya nyawa yang tidak ternilai harganya. Adapun dampak-dampak Illegal Logging sebagai berikut.

Dari perspektif ekonomi kegiatan illegal logging telah mengurangi penerimaan devisa negara dan pendapatan negara. Kasus ilegal logging di Indonesia yang mencapai 50,7 juta m3 per tahun, menyebabkan negara menderita kerugian sebesar Rp30,42 triliun per tahun. Hal itu diungkapkan oleh Asisten Deputi IV Urusan Pertanian dan Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Bambang Purwono, Senin (23/8).Menurutnya kerusakan hutan terbesar terjadi di perbatasan Indonesia dan Malaysia.

Dari segi sosial budaya dapat dilihat munculnya sikap kurang bertanggung jawab yang dikarenakan adanya perubahan nilai dimana masyarakat pada umumnya sulit untuk membedakan antara yang benar dan salah.Hal tersebut kurangnya penegakan hukum atas permasalahan ini.Jadi banyak masyarakat berbuat sewenang-wenangnya tanpa memperdulikan akibat buruk dari kecurangannya itu.Masyarakat tetap hidup miskin dan menjadi korban atas kecurangan perilaku cukong-cukong yang pada akhirnya merekalah yang menikmati sebagian besar hasil usaha masyarakat.Inilah yang menimbulkan ketidakadilan sosial dalam masyarakat.

Kerugian dari segi lingkungan yang paling utama adalah hilangnya sejumlah tertentu pohon  sehingga tidak terjaminnya keberadaan hutan yang berakibat pada rusaknya lingkungan, berubahnya iklim mikro, menurunnya produktivitas lahan, erosi dan banjir serta hilangnya keanekaragaman hayati.

Dampak yang paling kompleks dari adanya Illegal Logging ini adalah global warming yang sekarang sedang mengancam dunia.Global warming terjadi oleh efek rumah kaca dan kurangnya daerah resapan CO2 seperti hutan sehingga menyebabkan suhu bumi menjadi naik dan mengakibatkan kenaikan volume air muka bumi karena es dikutub mencair.

Wahana Lingkungan Hidup  Indonesia (WALHI)  menyatakan konversi hutan oleh sejumlah perusahaan masih berlangsung khususnya di Riau. Menurut  ketua WALHI Eksekutif  Nasional Muhammad Teguh Surya, saat ini ada sekitar 243.672  hektar hutan di Riau atau dari kubikasi kayu alam sebanyak 23.753.599 meter kubik yang siap dikonversi perusahaan kertas dan bubur kertas di Riau.

 

C. Landasan Hukum Tentang Kehutanan

 

Hukum kehutanan dimulai sejak diundangkannya Reglemen Hutan 1865, berturut-turut Reglemen Hutan 1874, Reglemen Hutan 1897, Ordonansi Hutan 1927, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, PERPU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, dan terakhir adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.

Semua produk hukum diatas merupakan hal khusus tentang kehutanan sehingga produk hukum kehutanan termasuk kategori les spesialis.
Menurut Tuti Budhi Utami, (2007) formulasi tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksinya yang berlaku sekarang adalah sebagai berikut :
- Tindak pidana dibidang kehutanan dirumuskan dalam pasal 50 dan pasal 78 Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999,
- Subyek hukum illegal loging menurut UU 41 tahun 1999 tersebut adalah orang dalam

pengertian baik pribadi, badan hukum maupun badan usaha diatur dalam satu pasal yang sama

dengan pribadi sehingga badan hukum dianggap sama dengan pribadi.
- Ancaman pidana yang dikenakan adalah ancaman pidana yang bersifat kumulatif, pidana pokok

berupa penjara dan denda, pidana tambahan berupa perampasan hasil kejahatan dan atau alat-

alat untuk melakukan kejahatan, ganti rugi serta sanksi tata tertib.
- Pidana denda untuk korporasi belum dilengkapi dengan aturan khusus.
Olehnya itu, menurut Tuti Budhi Utami, (2007) bahwa untuk mengatasi hal tersebut maka kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging yang akan datang diharapkan memuat secara jelas dan lengkap mengenai :
1. Definisi illegal logging,
2. Subyek hukum tindak pidana illegal logging (pribadi dan badan hukum atau badan usaha atau

korporasi dan pegawai negeri dirumuskan dalam pasal-pasal yang komprehensif,
3. Sanksi pidana hendaknya dirumuskan tidak secara kaku kumulatif, namun lebih fleksibel

dengan alternative atau kumulatif-alternatif.

 

D. Langkah-Langkah Yang Dapat Dilakukan Untuk Memberantas Illegal Logging


Dalam Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002, langkah-langkah strategis Depertemen Kehutanan untuk mengatasi illegal logging adalah sebagai berikut:
1. Menerbitkan SK Menhut Nomor 541/Kpts-II/2002, yang antara lain isinya mencabut SK

Menhut Nomor 05.1/Kpts-II/2000, menghentikan sementara kewenangan Gubernur atau

Bupati/Walikota menerbitkan HPH/Izin pemanfaatan hasil hutan. Penerbitan SK Menhut ini

telah diperkuat dengan terbitnya PP. Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan kawasan hutan

yang antara lain mengatur kewenangan pemberian izin pemanfaatan hutan dan hasil hutan
2. Menerbitkan SKB Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.

1132/Kpts-II/2001 dan No. 292/MPP/Kep/10/2011 tentang Penghentian Ekspor Kayu

Bulat/Bahan Baku Serpih yang dikuatkan dengan PP Nomor 34 Tahun 2002 yang dengan

tegas melarang ekspor log
3. Melakukan kerjasama dengan TNI AL dalam pelaksanaan Operasi Wanabahari serta dengan

Polri dalam pelaksanaan Operasi Wanalaga
4. Kerjasama dengan negara lain, yaitu dengan penandatanganan MoU dengan Pemerintah

Inggris pada tanggal 18 April 2002 dan dengan RRC pada tanggal 12 Desember 2002 untuk

pemberantasan illegal logging dan illegal trade. Diharapkan kerjasama serupa dengan

Pemerintah Jepang serta beberapa negara lainnya akan segera menyusul
5. Memback-up operasi khusus di daerah sensitif seperti wilayah perbatasan, kawasan konservasi

dan taman nasional terpilih.
6. Secara bersama melakukan operasi dilaut dan perairan
7. Memberikan back-up data intelijen
8. Pengawasan yang ketat terhadap oknum TNI di lapangan yang bertindak sebagai backing

ataupun pelaku.
Menurut Majalah Intip Hutan, terbitan Juni 2004, solusi untuk mencegah tingkat kerusakan hutan di Indonesia adalah jika negara dengan aparatnya mengerjakan tugasnya menegakkan hukum dan memberantas korupsi, sementara pada saat yang sama LSM tak henti-hentinya mengkampanyekan penyadaran pentingnya penyelamatan hutan, dan konsumen kayu lebih peduli terhadap nasib hutan di Indonesia maka mungkin sekali kerusakan yang sudah separah ini bisa dicegah.
Bambang Setiono dan Yunus Husain, (2005) mengungkapkan jika pembalakan liar hanyalah suatu kejahatan yang melibatkan masyarakat miskin yang kehidupannya bergantung kepada hutan, sopir truk ataupun penjaga hutan yang bergaji kecil, kejahatan tersebut tidak akan sulit untuk dihentikan. Dengan keterlibatan penyokong dana pembalakan liar, yang biasa disebut cukong, industri kayu legal dan pegawai pemerintah, pembalakan liar menjadi masalah yang kompleks, tidak hanya bagi Indonesia tapi juga bagi komunitas kehutanan Internasional. Pendekatan penegakan hukum kehutanan yang dilakukan saat ini gagal menangkap otak dibalik pembalakan liar.Namun demikian, pendekatan penegakan hukum pencucian uang yang menggunakan pendekatan “mengikuti uang” dapat menjadi pilihan penting utnuk menghadapi aktor-aktor di belakang layar terjadinya pembalakan liar.Pendekatan baru ini mengharuskan bank dan penyedia jasa keuangan lainnya untuk lebih aktif dan hati-hati dalam menjalankan transaksi keuangan yang berkaitan dengan nasabah mereka. Nasabah bank dapat termasuk penyokong dana pembalakan liar, industri kayu, aparat penegak hukum, dan aparat pemerintah. Secara keseluruhan, penggunaan rezim anti pencucian uang secara efektif akan memberikan peluang untuk mendorong prinsip kehati-hatian perbankan dan pengelolaan hutan yang lestari serta untuk mengurangi kejahatan hutan.

 

E. Solusi Lainnya Menanggapi Illegal Logging Di Kepulauan Riau

 

1. Pemerintah Riau wajib menindak lanjuti kasus illegal loging ini dengan dasar hukum menurut

    UU Nomor 32 Tahun 2009 yaitu melakukan gugatan kerugian akibat kerusakan lingkungan

hidup.  Pemerintah harus menerapkan sanksi yang berat bagi mereka yang melanggar

ketentuan mengenai pengelolaan hutan. Misalkan dengan upaya pengawasan dan penindakan

yang dilakukan di TKP (tempat kejadian perkara), yaitu di lokasi kawasan hutan dimana

tempat dilakukannya penembangan kayu secara illegal. Mengingat kawasan hutan Riau yang

ada cukup luas dan tidak sebanding dengan jumlah aparat yang ada, sehingga upaya ini sulit

dapat diandalkan, kecuali menjalin kerjasama dengan masyarakat setempat. Ini pun akan

mendapat kesulitan jika anggota masyarakat itu justru mendapatkan keuntungan materiil dari

tindakan illegal logging.

2. Pemerintah harus menerapkan sitem reboisasi untuk penanaman hutan kembali. Menerapkan

sistem tebang pilih dalam menebang pohon.Manipulasi lingkungan serta pengendalian hama

dan penyakit juga bisa dilakukan untuk memulihkan kembali hutan di Indonesia.Penanaman

hutan secara intensif menjadi pilihan terbaik karena bisa diprediksi. Sehingga, kebutuhan kayu

bisa diperhitungkan tanpa harus merusak habitat hutan alam yang masih baik.

3. Pemerintah Riau juga menghimbau dan mengajak  masyarakat terutama pada tiap-tiap

    sekolah  di Riau untuk mengajak siswanya melakukan  suatu sistem tanam seribu pohon.

    Pemerintah juga harus menyediakan fasilitas tanaman dan tumbuhan ke tiap-tiap sekolah yang

berada di Riau. Jadi dengan sistem ini akan mengurangi masalah wilayah yang tandus akibat

dari illegal Logging.

 

 

 

 

 

 

BAB  III

PENUTUP

 

A. Kesimpulan

Manusia dibumi ini sangat berperan penting dalam kelestarian lingkungan.Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berakal budi mampu merubah wajah dunia dari pola kehidupan sederhana sampai ke bentuk kehidupan modern seperti sekarang ini. Namun sayang, seringkali apa yang dilakukan manusia tidak diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan generasi berikutnya seperti tindakan Illegal Logging. Kita harus sadar bahwa tindakan illegal logging ini dapat menyebabkan kerugian besar bagi kita maupun anak cucu kita kelak. Jadi dari sekarang kita harus memulai usaha untuk ikut berpartisipasi dalam  pemeliharaan lingkungan. Sayangilah bumi kita sebelum bumi kita hancur akan ulah manusia yamg tidak bertanggung jawab.



 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Deforestasi dan Degradasi Hutan.FWI Simpul Papua.http://pdf.wri.org/indoforest_chap3_id.pdf

 

Ekosistem Hutan Sumatera Didalam “Hotspot” Keanekaragaman Hayati Sundaland, Critical System Partnership Fund. www.cepf.net/Documents/final.bahasa.sundaland.sumatra.ep.pdf

 

Tuti Budhi Utami, 2007. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging.
eprints.undip.ac.id/17562/1/TUTY_BUDHI_UTAMI.pdf

 

Bambang Setiono dan Yunus Husain, 2005. Memerangi Kejahatan Kehutanan dan Mendorong Prinsip Kehati-hatian Perbankan Untuk Mewujudkan Pengelolaan Hutan Yang Berkelanjutan: Pendekatan Anti Pencucian Uang. Occasional Paper Nomor 44. Center For International Forestry Research (CIFOR). Jakarta. www.cifor.org/publications/pdf_files/OccPapers/OP-44i.pdf