Rabu, 10 Juni 2015

Makalah Pengantar Ilmu Politik (Keterwakilan Politik Perempuan)



TUGAS MAKALAH



NAMA:
MUHAMMAD RIZKY
JUDUL:
KETERWAKILAN POLITIK PEREMPUAN
MATA KULIAH:
PENGANTAR ILMU POLITIK
JURUSAN:
ILMU PEMERINTAHAN



“LIPSTIK” POLITIK INDONESIA

BAB I.
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Maraknya wacana keterwakilan politik perempuan dalam panggung politik elektoral Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa, publik politik nasional terus menyimak gugatan intens kaum perempuan terhadap kontruksi budaya dan relasi sosial-politik pasca reformasi yang masih bias gender, dan terindikasi menyimpan potensi untuk tetap memarjinalisasi dan mendominasi perempuan.

Meski Indonesia kini relatif akomodatif terhadap wacana dan tuntutan keterwakilan politik perempuan (seperti tercermin dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum), namun harus disadari bahwa ruang ekspresi politik perempuan yang diberikan negara (dan para elite partai) masih jauh dari spirit keadilan dan keseteraan. Kendati penetapan kuota 30 persen melalui akomodasi negara sudah diuji-coba sejak pemilu 2004 lalu, namun ditilik dari aspek sejarah pertumbuhan representasi politik perempuan di parlemen, faktual masih berlangsung secara fluktuatif.

Kurangnya kaum perempuan di parlemen adalah hasil dari ketidaksetaraan gender dan melanggengkan masalah ketidaksetaraan gender. Ini menjadi masalah karena menurut teori universalisme, kesetaraan gender diakui oleh lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai hak asasi manusia:
Gender equality in political participation is socially just...A political system—elected offices, but also other positions that influence public decisions—where half the population cannot participate, defies the meaning of the term (United Nations Development Program, 2010: 79).

Kalangan perempuan menerima hadiah Tahun Baru, tepatnya 06 Desember 2007, dengan disahkannya Undang-Undang Partai Politik yang memberi jaminan keterlibatan perempuan 30% dalam proses politik . Namun, hadiah tersebut sepertinya ”mentah” kembali Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 214 Undang-Undang No.10 Tahun 2008. Ini membuat keterwakilan perempuan di parlemen menjadi sulit diprediksi. Latar belakang inilah yang mendorong Penulis mengangkat tema hak berpolitik perempuan dalam perpektif quota kursi legislatif yang dianalogikan dalam judul penulisan ““Lipstik” Politik Indonesia“ sehingga perempuan tidak hanya menjadi “Pemanis’ ataupun “term” yang harus terpenuhi dalam qualifikasi kepartaian untuk lolos dalam verifikasi pemilihan legislatif (legislative election).

B.     Rumusan Masalah

Ketidaksetaraan gender merupakan bagian dari budaya Indonesia. ―Politics (in Indonesia) is arguably the arena in which gender inequality remains most pronounced (Nelson & Chowdhury, 1994).  Pada makalah ini penulis akan membahas hak berpolitik perempuan dalam perspektif kursi legislatif Indonesia. Kota Ambon merupakan objek sederhana penelitian dimana hanya terdapat 1 (satu) anggota legislatif perempuan periodisasi 2009-2014. Masalah penulisan ini adalah untuk melihat partisipasi perempuan dalam politik yang masih tergolong rendah, padahal Undang – Undang  sudah mensyaratkan agar ada pemenuhan kuota 30 % bagi perempuan di lembaga legislatif. Dan selanjutnya mengidentifikasi peran dan kedudukan perempuan sebagai anggota dewan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan model partisipasi politik perempuan ideal, sehingga dalam pemilu-pemilu mendatang mampu memenuhi 30 % kuota di lembaga legislatif seperti yang dinyatakan dalam Pasal 65 (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Pertanyaan-pertanyaan kunci dari penelitian ini:
1.       Bagaimana hak berpolitik bagi perempuan?
2.      Bagaimana partisipasi perempuan dalam bidang politik ?
3.      Bagaimana  posisi perempuan di parlemen Indonesia terhadap kaum laki-laki dalam kancah politik?

C.    Maksud Penulisan Makalah

Untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang peran kaum perempuan dalam bidang politik dan member motivasi agar perempuan bisa menunjukkan kualitasnya.










BAB 2
PEMBAHASAN
  1. Perempuan dan Politik

Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem tersebut dan bagaimana melaksakan tujuannya. Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.

Politik (poltics) didefinisikan sebagai segala usaha , kegiatan dan upaya yang bertujuan mempengaruhi proses kebijakan dan perundangan dalam hal isu-isu perempuan. Ada juga yang mendefinisikan sebagai ”politic as Art and Sciencce” suatu seni dan ilmu dalam mencapai tujuan tertentu.  Di indonesia sejak tahun 1987 telah memasuki isu perempuan dalam agenda politik. Isu-isu yang dimaksudkan ialah kebijakan yang berkaitan langsung dengan perempuan, seperti kesehatan, perkawinan, pendidikan, dan segala aspeknya. Hal ini tidak sejalan dengan budaya patriarki masih dominan dalam kehidupan masyarakat kita.

Dalam tradisi patriarkhi pada umumnya, di Indonesia pada khususnya, dunia politik  dikategorikan sebagai dunia laki-laki oleh karenanya, dunia perempuan tersingkir dari dunia tersebut. Kaum laki-lakilah yang menetapkan memutuskan berbagai kebijakan dan perundangan dari dunia tersebut. (Macioni,1987:Susanto,1993:Suryokumuro,1992). Kaum laki-lakilah yang menetapkan dan memutuskan berbagai kebijakan dan perundangan yang termasuk  menyangkut hak-hak dan kepentingan perempuan. Akibatnya banyak kebijakan dan perundangan yang kurang mendukung kepentingan perempuan.
Ada beberapa pendapat untuk menganalis mengapa perempuan secara kuantitatif dan kualitatif kurang mempunyai akses kedalam dunia politik. Pendapat-pendapat tersebut dianut oleh aliran-aliran feminis di Barat, seperti Feminis Liberal, Feminis Radikal, Feminis Sosialis, dll (Connel,1987: Macioni,1987). Dari berbagai pemikiran mereka, pada dasarnya ada dua pendapat yaitu. Pertama adalah mengatakan bahwa perempuan kurang berpartisipasi dalam politik karena kesalahan perempuan sendiri. Mereka benyak kekurangan, seperti: kurang pendidikan, kurang wawasan, kurang kemampuan untuk bersaing, sehinggga tidak memungkinkan mereka untuk terjun kedunia politik. Pendapat iini dianut oleh kaun feminis liberal.

Secara kritis, pandangan yang demikian ini tidak mengakar karena tidak mempersoalkan mengapa kaum perempuan banyak mempunyai kekurangan. Jalan keluar yang ditempuh untuk memperbaiki keadaan adalah menambah pengetahuan yang menjadi kekurangan perempuan . jika permpuan kurang pendidikan, maka pendidikan permpuan harus ditingkatkan terlebih dahulu, kalau kurang wawasan, maka wawasan mereka harus ditambah dengan berbagai cara, antara lain penyuluhan, penataran dll.

Pendapat kedua yang banyak dianut oleh feminis radikal maupun sosialis, pada dasrnya mengatakan bahwa penyebab kurangnya partisipasi perempuan adalah tidak adanya persamaan (inequality) struktur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Adanya hierarki antara mereka menyebabkan perempuan tertinggal. Dalam memperbaiki keadaan, perubahan struktur hubungan supaya mereka dapat lebih setara dan tidak hierarki lagi.

Dalam banyak hal kebudayaan secara tidak langsung mengemas ruang pembagian kerja yang sangat dikotomis dalam berpolitik ganda. Disatu sisi lain diberi gambaran bahwa dunia politik tidak sesuai dengan sifat alamiah perempuan yang lembut dan penuh kasih sayang, keibuan dsb. Ada anggapan bahwa keterlibatan perempuan di bidang politik seolah-olah akan mentelantarkan anak maupun suami. Hambatan-hambatan yang dialami kaum perempuan bukan hanya datang dari kultur atau kebudayan, akan tetapi agamapun dilibatkan dalam marginalisasi politik, misalnya dengan menguatnya kontrovensi mengenai boleh tidaknya perempuan berpolitik. Sebenarnya disebabkan karena perbedaan interpritasi/penafsiran agama yang masih bias gender. Agam Islam hakikatnya tidak melarang perempuan terlibat langsung dalam dunia politik.

  1. Partisipasi Perempuan dalam Politik
Secara etimologis pengertian partisipasi dapat diartikan kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijkan negara. Adapun menurut Huntington dan Nelson (1990) partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.

Partisipasi dapat bersifat idividual atau kolektif, terorganisasi. Dengan demikian unsur penting dalam proses partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara dalam proses pembuatan keputusan oleh pemerintah. Hakikat partisipasi adalah kemandirian. Artinya setiap individu yang melakukan kegiatan partisipasi haruslah berasal dari diri sendiri. Bentuk partisipasi politik dapat dibeda-bedakan dalam bentuk yang konfensional, yaitu memberikan suara (votinng), diskusi politik kegiatan kampanye. Sedangkan yang bentuknya non konvensional meliputi pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi dsb (Masoed,1991: 46-49).
Isu partisipasi perempuan dalam politik dapat dikaji secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif dapat dilihat seberapa banyak perempuan yang berpartisipasi dalam kegiatan politik, dalam hal pembuatan keputusan yang berdampak langsung dengan hak kewajiban dan kepentingan perempuan.

Partisipasi perempuan Indonesia dapat dikatakan rendah kualitasnya disebabkan oleh rendahnya intensitas sosialisasi politik yang menyebabkan rendahnya pemahaman politik yang mereka miliki. Ini juga dapat disebabkan oleh budaya politik maupun non politik yang tidak menguntungkan. Menurut Almonf dan Verba (1965) sosialisasi politik merupakan bagian dari prosessosialisasi yang khusus membentuk nilai politik yang menunjukan bagaimana seharusnya masyarakat berpartisipasi dalam sistem politik. Jadi sosialisasi yang bersperktif perempuantentunya adalah proses yang mendukung perempuan berpartisipasi dalam sistem politik. Namun sosialisasi politik bagi perempuan tidak akan terlepas dari budaya baik pollitik maupun non politik.

Dalam sosialisasi politik yang berspektif perempuan yang perlu dikaji adalah
1.      Pengambilan keputusan sebagai bentuk pola kekuasaan yang paling awal yang dapat dikaji dalam semua ajang sosialisasi
2.      Distribusi hak dan kewajiban yang merupakan masalah klasik dalam ilmu politik
3.      Peranan agama dalam sosialisasi budaya politik
4.      Peranan ideologi patriarki dalam sosialisasi budaya politik

  1. Perempuan dalam Dunia Politik di Indonesia
Indonesia merdeka 65 tahun, akan tetapi dalam sejarah berpolitikan di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya, perempuan memang dipandang terlambat dalam keterlibatannya di dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan selalu dalam posisi domestik dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan terlambat memulai dalam berkiprah di dunia politik. Kenyataan menunjukan bahwa jumlah perempuan yang duduk di parlemen dan pembuatan keputusan politik di Indonesia sangat sedikit. Padahal jumlah penduduk Indonesia (BPS 2001) sekitar 57% dari jumlah penduduk Indonesia. Pada setiap pemilu jumlah perempuan yang terpilih berkisar 8% sampai dengan 10%. Pendaftaran dari pencalonan masing-masing kekuatan sosial politik dapat mencalonkan lebih dari 10% calon perempuan tetapi kenyataannya yang terpilih tidak lebih dari itu (Ayu,1991:55). Pada tabel berikut kita akan melihat komposisi jumlah perempuan di DPR selama ini.
Tabel 1: jumlah perempuan di DPR (1950-2004)
Masa kerja DPR
Perempuan
Jumlah anggota
Presentase (%)
1950-1955 (DPR Sementara
9
236
3,8
1955-1960
17
272
6,3
1956-1959
25
488
5,1
1971-1977
36
460
7,8
1977-1982
29
460
6,3
1982-1987
39
460
8,5
1987-1992
65
500
13,0
1992-1997
62
500
12,5
1997-1999
54
500
10,8
1999-2004
45
500
9,0

Dari sisi komposisi di atas keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan sangat dirasakan belum berimbang. Oleh karena itu keputusan-keputusan yang di buat oleh kaum maskulin kurang berspektif gender sehingga keputusan yang di hasilkan seringkali bias gender, tidak memperhatikan kepentingan kaum perempuan, tidak membuat perempuan semakin berkembang. Walaupun kuantitas perempuan di legislatif belum tentu menjamin peningkatan taraf hidup perempuan. Kenyataan di lapangan banyak kebijakan membuat perempuan tenggelam pada sektor-sektor yang sangat strategis hal ini mengakibatkan, posisi perempuan senantiasa berada pada posisi marginal. Oleh karena itu perlu upaya strategis untuk mengangkat keberadaan perempuan di bidang politik. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menempatakan perempuan pada posisi strategis yaitu di kawasan legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Dengan demikian perempuan akan terlibat aktif dalam pengambilan keputusan, termasuk memberikan pertimbangan-pertimbangan  yang mengedepankan kepentingan perempuan.












BAB 3
SIMPULAN
Pada era demokrasi sekarang ini marginalisasi perempuan di sektor politik masih sangat kentara. Penyudutan terhadap perempuan yang sudah mengakar dari bingkai atau ilustrasi budaya menjadikan perempuan sindrom sosial terhadap dunia politik. Kenyataan yang harus diantisipasi sedini mungkin adalah memberikan kesadaran politik kepada perempuan sebagai warga bangsa untuk terjun ke dunia politik.
Partisipasi perempuan masih lemah. Bahkan ketika perempuan secara individual mampu memperthankan posisinya dalam arena politik, yang kelihatannya tidak memiliki jaringan pendukung untuk dapat tampil dengan efektif. Mereka minim keterampilandan seringkali menjadi sarana tampilan gender daripada sebuah kekuatan politik sesungguhnya. Selain itu, institusi-institusi dan proses-proses yang mendorong, memfasilitasi atau mendukung partisipasi perempuan sebagai sosok yang dibutuhkan publik masih terbatas. Oleh karena itu, pertisipasi politik yang aktif dari perempuan dan kesadaran yang kritis haruslah memasukan kesadaran gender.
Hal lain yang penting diperhatikan dalam komteks kepemimpinan perempuan adalah apakah mereka dapat memenuhi strategic interest kelompok peempuan untuk dapat terlibat langsung dalan proses pengambilan keputusan. Proses politik ini harus berpengaruh terhadap kehidupan peempuan diberbagai tingkatan masyrakat, khususnya di tingkat grass roots. Yang perlu diperjuangkan adalah proses demokratisasi yang saat ini terjadi di Indonesia dapat mengikutsertakan perempuan. Sehinnga perempuan dapat mengorganisasikan dirinya dengan bebas, menentukan agendanya sendiri. Karena berorganisasi adalah salah satu langkah yang harus diambil perempuan dalam upaya mengubah relasi gender yang timpang.


Daftar Pustaka

Sugiarti dkk.2003. Pembangunan dalam Perspektif Gender, Malang : UMM Press
http:/Pengertian%20Politik.htm
Syukrie, erna. Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan
United Nations Development Program, 2010: 79





















TUGAS PENGANTAR ILMU POLITIK

Description: Logo_Unidar.jpg













Nama     : Muhammad Rizky
Fakultas : Sosial Politik
Jurusan  : Ilmu Pemerintahan
Kelas B2

UNIVERSITAS DARUSSALAM AMBON
2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar