TUGAS MAKALAH
NAMA:
MUHAMMAD RIZKY
JUDUL:
KETERWAKILAN POLITIK PEREMPUAN
MATA KULIAH:
PENGANTAR ILMU POLITIK
JURUSAN:
ILMU PEMERINTAHAN
“LIPSTIK”
POLITIK INDONESIA
BAB
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Maraknya wacana keterwakilan politik perempuan dalam
panggung politik elektoral Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa, publik
politik nasional terus menyimak gugatan intens kaum perempuan terhadap
kontruksi budaya dan relasi sosial-politik pasca reformasi yang masih bias gender,
dan terindikasi menyimpan potensi untuk tetap memarjinalisasi dan mendominasi perempuan.
Meski Indonesia kini relatif akomodatif terhadap
wacana dan tuntutan keterwakilan politik perempuan (seperti tercermin dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum), namun harus disadari bahwa ruang
ekspresi politik perempuan yang diberikan negara (dan para elite partai) masih
jauh dari spirit keadilan dan keseteraan. Kendati penetapan kuota 30 persen melalui
akomodasi negara sudah diuji-coba sejak pemilu 2004 lalu, namun ditilik dari
aspek sejarah pertumbuhan representasi politik perempuan di parlemen, faktual
masih berlangsung secara fluktuatif.
Kurangnya kaum perempuan di parlemen
adalah hasil dari ketidaksetaraan gender dan melanggengkan masalah
ketidaksetaraan gender. Ini menjadi masalah karena menurut teori universalisme,
kesetaraan gender diakui oleh lembaga internasional seperti Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai hak asasi manusia:
Gender
equality in political participation is socially just...A political
system—elected offices, but also other positions that influence public decisions—where
half the population cannot participate, defies the meaning of the term (United
Nations Development Program, 2010: 79).
Kalangan perempuan menerima hadiah Tahun Baru, tepatnya
06 Desember 2007, dengan disahkannya Undang-Undang Partai Politik yang memberi
jaminan keterlibatan perempuan 30% dalam proses politik . Namun, hadiah
tersebut sepertinya ”mentah” kembali Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 214 Undang-Undang
No.10 Tahun 2008. Ini membuat keterwakilan perempuan di parlemen menjadi sulit
diprediksi. Latar belakang inilah yang mendorong Penulis mengangkat tema hak
berpolitik perempuan dalam perpektif quota kursi legislatif yang dianalogikan
dalam judul penulisan ““Lipstik” Politik Indonesia“ sehingga perempuan tidak
hanya menjadi “Pemanis’ ataupun “term” yang harus terpenuhi dalam qualifikasi
kepartaian untuk lolos dalam verifikasi pemilihan legislatif (legislative
election).
B. Rumusan Masalah
Ketidaksetaraan
gender merupakan bagian dari budaya Indonesia. ―Politics (in Indonesia) is arguably
the arena in which gender inequality remains most pronounced (Nelson &
Chowdhury, 1994). Pada makalah ini
penulis akan membahas hak berpolitik perempuan dalam perspektif kursi
legislatif Indonesia. Kota Ambon merupakan objek sederhana penelitian dimana
hanya terdapat 1 (satu) anggota legislatif perempuan periodisasi 2009-2014. Masalah
penulisan ini adalah untuk melihat partisipasi perempuan dalam politik yang
masih tergolong rendah, padahal Undang – Undang sudah mensyaratkan agar ada pemenuhan kuota 30
% bagi perempuan di lembaga legislatif. Dan selanjutnya mengidentifikasi peran
dan kedudukan perempuan sebagai anggota dewan. Metode penelitian yang digunakan
adalah deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini diharapkan
dapat menghasilkan model partisipasi politik perempuan ideal, sehingga dalam
pemilu-pemilu mendatang mampu memenuhi 30 % kuota di lembaga legislatif seperti
yang dinyatakan dalam Pasal 65 (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Pertanyaan-pertanyaan
kunci dari penelitian ini:
1. Bagaimana
hak berpolitik bagi perempuan?
2. Bagaimana partisipasi perempuan dalam bidang politik ?
3. Bagaimana posisi perempuan di parlemen Indonesia
terhadap kaum laki-laki dalam kancah politik?
C.
Maksud
Penulisan Makalah
Untuk
mengkaji lebih dalam lagi tentang peran kaum perempuan dalam bidang politik dan
member motivasi agar perempuan bisa menunjukkan kualitasnya.
BAB
2
PEMBAHASAN
- Perempuan dan Politik
Secara
umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu sistem politik atau
negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem tersebut dan
bagaimana melaksakan tujuannya. Negara adalah suatu organisasi dalam suatu
wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.
Politik
(poltics) didefinisikan sebagai segala usaha , kegiatan dan upaya yang
bertujuan mempengaruhi proses kebijakan dan perundangan dalam hal isu-isu
perempuan. Ada juga yang mendefinisikan sebagai ”politic as Art and
Sciencce” suatu seni dan ilmu dalam mencapai tujuan tertentu. Di indonesia sejak tahun 1987 telah memasuki isu
perempuan dalam agenda politik. Isu-isu yang dimaksudkan ialah kebijakan yang
berkaitan langsung dengan perempuan, seperti kesehatan, perkawinan, pendidikan,
dan segala aspeknya. Hal ini tidak sejalan dengan budaya patriarki masih
dominan dalam kehidupan masyarakat kita.
Dalam
tradisi patriarkhi pada umumnya, di Indonesia pada khususnya, dunia
politik dikategorikan sebagai dunia laki-laki oleh karenanya, dunia
perempuan tersingkir dari dunia tersebut. Kaum laki-lakilah yang menetapkan
memutuskan berbagai kebijakan dan perundangan dari dunia tersebut.
(Macioni,1987:Susanto,1993:Suryokumuro,1992). Kaum laki-lakilah yang menetapkan
dan memutuskan berbagai kebijakan dan perundangan yang termasuk
menyangkut hak-hak dan kepentingan perempuan. Akibatnya banyak kebijakan dan
perundangan yang kurang mendukung kepentingan perempuan.
Ada
beberapa pendapat untuk menganalis mengapa perempuan secara kuantitatif dan
kualitatif kurang mempunyai akses kedalam dunia politik. Pendapat-pendapat
tersebut dianut oleh aliran-aliran feminis di Barat, seperti Feminis Liberal,
Feminis Radikal, Feminis Sosialis, dll (Connel,1987: Macioni,1987). Dari
berbagai pemikiran mereka, pada dasarnya ada dua pendapat yaitu. Pertama adalah
mengatakan bahwa perempuan kurang berpartisipasi dalam politik karena kesalahan
perempuan sendiri. Mereka benyak kekurangan, seperti: kurang pendidikan, kurang
wawasan, kurang kemampuan untuk bersaing, sehinggga tidak memungkinkan mereka
untuk terjun kedunia politik. Pendapat iini dianut oleh kaun feminis liberal.
Secara
kritis, pandangan yang demikian ini tidak mengakar karena tidak mempersoalkan
mengapa kaum perempuan banyak mempunyai kekurangan. Jalan keluar yang ditempuh
untuk memperbaiki keadaan adalah menambah pengetahuan yang menjadi kekurangan
perempuan . jika permpuan kurang pendidikan, maka pendidikan permpuan harus
ditingkatkan terlebih dahulu, kalau kurang wawasan, maka wawasan mereka harus
ditambah dengan berbagai cara, antara lain penyuluhan, penataran dll.
Pendapat
kedua yang banyak dianut oleh feminis radikal maupun sosialis, pada dasrnya
mengatakan bahwa penyebab kurangnya partisipasi perempuan adalah tidak adanya
persamaan (inequality) struktur hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Adanya hierarki antara mereka menyebabkan perempuan tertinggal. Dalam
memperbaiki keadaan, perubahan struktur hubungan supaya mereka dapat lebih
setara dan tidak hierarki lagi.
Dalam
banyak hal kebudayaan secara tidak langsung mengemas ruang pembagian kerja yang
sangat dikotomis dalam berpolitik ganda. Disatu sisi lain diberi gambaran bahwa
dunia politik tidak sesuai dengan sifat alamiah perempuan yang lembut dan penuh
kasih sayang, keibuan dsb. Ada anggapan bahwa keterlibatan perempuan di bidang
politik seolah-olah akan mentelantarkan anak maupun suami. Hambatan-hambatan
yang dialami kaum perempuan bukan hanya datang dari kultur atau kebudayan, akan
tetapi agamapun dilibatkan dalam marginalisasi politik, misalnya dengan
menguatnya kontrovensi mengenai boleh tidaknya perempuan berpolitik. Sebenarnya
disebabkan karena perbedaan interpritasi/penafsiran agama yang masih bias
gender. Agam Islam hakikatnya tidak melarang perempuan terlibat langsung dalam
dunia politik.
- Partisipasi Perempuan dalam Politik
Secara
etimologis pengertian partisipasi dapat diartikan kegiatan seseorang atau
kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu
dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kebijkan negara. Adapun menurut Huntington dan Nelson (1990)
partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi
dapat bersifat idividual atau kolektif, terorganisasi. Dengan demikian unsur
penting dalam proses partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara
dalam proses pembuatan keputusan oleh pemerintah. Hakikat partisipasi adalah
kemandirian. Artinya setiap individu yang melakukan kegiatan partisipasi
haruslah berasal dari diri sendiri. Bentuk partisipasi politik dapat
dibeda-bedakan dalam bentuk yang konfensional, yaitu memberikan suara
(votinng), diskusi politik kegiatan kampanye. Sedangkan yang bentuknya non konvensional
meliputi pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi dsb (Masoed,1991:
46-49).
Isu
partisipasi perempuan dalam politik dapat dikaji secara kuantitatif dan
kualitatif. Secara kuantitatif dapat dilihat seberapa banyak perempuan yang
berpartisipasi dalam kegiatan politik, dalam hal pembuatan keputusan yang
berdampak langsung dengan hak kewajiban dan kepentingan perempuan.
Partisipasi
perempuan Indonesia dapat dikatakan rendah kualitasnya disebabkan oleh
rendahnya intensitas sosialisasi politik yang menyebabkan rendahnya pemahaman
politik yang mereka miliki. Ini juga dapat disebabkan oleh budaya politik
maupun non politik yang tidak menguntungkan. Menurut Almonf dan Verba (1965)
sosialisasi politik merupakan bagian dari prosessosialisasi yang khusus membentuk
nilai politik yang menunjukan bagaimana seharusnya masyarakat berpartisipasi
dalam sistem politik. Jadi sosialisasi yang bersperktif perempuantentunya
adalah proses yang mendukung perempuan berpartisipasi dalam sistem politik.
Namun sosialisasi politik bagi perempuan tidak akan terlepas dari budaya baik
pollitik maupun non politik.
Dalam
sosialisasi politik yang berspektif perempuan yang perlu dikaji adalah
1.
Pengambilan
keputusan sebagai bentuk pola kekuasaan yang paling awal yang dapat dikaji
dalam semua ajang sosialisasi
2.
Distribusi
hak dan kewajiban yang merupakan masalah klasik dalam ilmu politik
3.
Peranan
agama dalam sosialisasi budaya politik
4.
Peranan
ideologi patriarki dalam sosialisasi budaya politik
- Perempuan dalam Dunia Politik di Indonesia
Indonesia
merdeka 65 tahun, akan tetapi dalam sejarah berpolitikan di Indonesia dan
negara berkembang pada umumnya, perempuan memang dipandang terlambat dalam
keterlibatannya di dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan selalu dalam
posisi domestik dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan terlambat
memulai dalam berkiprah di dunia politik. Kenyataan menunjukan bahwa jumlah
perempuan yang duduk di parlemen dan pembuatan keputusan politik di Indonesia
sangat sedikit. Padahal jumlah penduduk Indonesia (BPS 2001) sekitar 57% dari
jumlah penduduk Indonesia. Pada setiap pemilu jumlah perempuan yang terpilih
berkisar 8% sampai dengan 10%. Pendaftaran dari pencalonan masing-masing
kekuatan sosial politik dapat mencalonkan lebih dari 10% calon perempuan tetapi
kenyataannya yang terpilih tidak lebih dari itu (Ayu,1991:55). Pada tabel berikut kita akan melihat komposisi jumlah
perempuan di DPR selama ini.
Tabel
1: jumlah perempuan di DPR (1950-2004)
Masa kerja DPR
|
Perempuan
|
Jumlah anggota
|
Presentase (%)
|
1950-1955 (DPR
Sementara
|
9
|
236
|
3,8
|
1955-1960
|
17
|
272
|
6,3
|
1956-1959
|
25
|
488
|
5,1
|
1971-1977
|
36
|
460
|
7,8
|
1977-1982
|
29
|
460
|
6,3
|
1982-1987
|
39
|
460
|
8,5
|
1987-1992
|
65
|
500
|
13,0
|
1992-1997
|
62
|
500
|
12,5
|
1997-1999
|
54
|
500
|
10,8
|
1999-2004
|
45
|
500
|
9,0
|
Dari
sisi komposisi di atas keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan
sangat dirasakan belum berimbang. Oleh karena itu keputusan-keputusan yang di
buat oleh kaum maskulin kurang berspektif gender sehingga keputusan yang di
hasilkan seringkali bias gender, tidak memperhatikan kepentingan kaum
perempuan, tidak membuat perempuan semakin berkembang. Walaupun kuantitas
perempuan di legislatif belum tentu menjamin peningkatan taraf hidup perempuan.
Kenyataan di lapangan banyak kebijakan membuat perempuan tenggelam pada
sektor-sektor yang sangat strategis hal ini mengakibatkan, posisi perempuan
senantiasa berada pada posisi marginal. Oleh karena itu perlu upaya strategis
untuk mengangkat keberadaan perempuan di bidang politik. Salah satu cara yang
dapat dilakukan adalah menempatakan perempuan pada posisi strategis yaitu di
kawasan legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Dengan demikian perempuan akan
terlibat aktif dalam pengambilan keputusan, termasuk memberikan
pertimbangan-pertimbangan yang mengedepankan kepentingan perempuan.
BAB 3
SIMPULAN
Pada
era demokrasi sekarang ini marginalisasi perempuan di sektor politik masih
sangat kentara. Penyudutan terhadap perempuan yang sudah mengakar dari bingkai
atau ilustrasi budaya menjadikan perempuan sindrom sosial terhadap dunia
politik. Kenyataan yang harus diantisipasi sedini mungkin adalah memberikan
kesadaran politik kepada perempuan sebagai warga bangsa untuk terjun ke dunia
politik.
Partisipasi
perempuan masih lemah. Bahkan ketika perempuan secara individual mampu
memperthankan posisinya dalam arena politik, yang kelihatannya tidak memiliki
jaringan pendukung untuk dapat tampil dengan efektif. Mereka minim
keterampilandan seringkali menjadi sarana tampilan gender daripada sebuah
kekuatan politik sesungguhnya. Selain itu, institusi-institusi dan
proses-proses yang mendorong, memfasilitasi atau mendukung partisipasi
perempuan sebagai sosok yang dibutuhkan publik masih terbatas. Oleh karena itu,
pertisipasi politik yang aktif dari perempuan dan kesadaran yang kritis
haruslah memasukan kesadaran gender.
Hal lain yang penting diperhatikan dalam komteks
kepemimpinan perempuan adalah apakah mereka dapat memenuhi strategic
interest kelompok peempuan untuk dapat terlibat langsung dalan proses
pengambilan keputusan. Proses politik ini harus berpengaruh terhadap kehidupan
peempuan diberbagai tingkatan masyrakat, khususnya di tingkat grass roots. Yang
perlu diperjuangkan adalah proses demokratisasi yang saat ini terjadi di
Indonesia dapat mengikutsertakan perempuan. Sehinnga perempuan dapat
mengorganisasikan dirinya dengan bebas, menentukan agendanya sendiri. Karena
berorganisasi adalah salah satu langkah yang harus diambil perempuan dalam
upaya mengubah relasi gender yang timpang.
Daftar Pustaka
Sugiarti
dkk.2003. Pembangunan dalam Perspektif Gender, Malang : UMM Press
http:/Pengertian%20Politik.htm
Syukrie,
erna. Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan
United Nations
Development Program, 2010: 79
Nama : Muhammad
Rizky
Fakultas : Sosial
Politik
Jurusan : Ilmu Pemerintahan
Kelas B2
UNIVERSITAS DARUSSALAM AMBON
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar